- Oleh Chusnan Maghribi
"Keterusterangan negara luar mendukung pihak yang bertikai di Suriah menguatkan sinyalemen telah terjadi proxy war"
PERGOLAKAN politik di Republik Arab Suriah yang bermula dari upaya aktivis (oposisi) melengserkan Presiden Bashar Al-Assad mengalami perkembangan menarik. Pergolakan itu tak lagi hanya menyuguhkan demonstrasi kubu anti-Assad yang direspons represif hingga merenggut ribuan nyawa penduduk sipil dan militer tapi juga makin memperlihatkan keterusterangan sejumlah negara asing mendukung pihak yang berkonflik.
Dua kali veto Rusia dan China atas rancangan resolusi sanksi Dewan Keamanan PBB untuk Suriah, pasokan persenjataan dari Rusia dan Iran; serta dukungan politik, keuangan dan persenjataan negara Arab dan Barat, semisal Arab Saudi, Qatar, Jordania, Amerika Serikat (AS), Turki, dan Uni Eropa (UE) kepada kubu oposisi, merefleksikan makin keterusterangan dukungan pihak asing.
Dukungan, terutama Rusia kepada pemerintah Suriah, telah menyejarah. Jurnalis Peter Mansfield dalam buku A History of the Middle East menuliskan, Rusia (Uni Soviet) mulai membantu dengan memasok persenjataan ke Suriah sejak 1956. Haluan ideologi kiri Suriah berkait penguatan pengaruh Partai Sosialis Baath, mengokohkan hubungan antara Damaskus dan Moskow.
Naiknya Hafez Assad (ayah Bashar Assad) di kursi presiden tahun 1971, setelah tahun 1970 dia menggulingkan Presiden Nurrudin Al-Atasi, makin menguatkan kerja sama itu. Hafez Assad membangun kekuatan militer dengan berbagai peranti tempur buatan Rusia. Hal itu berlanjut pada era Bashar Assad. Saat ini pemerintah Suriah melengkapi kemampuan militernya dengan beragam peralatan tempur buatan Rusia.
Situs kajian militer Global Security mewartakan, koleksi persenjataan Suriah buatan Rusia akan bertambah banyak seiring dengan pengiriman baru perlengkapan militer dari Moskow ke Damaskus. Di pihak lain, Arab Saudi dan Qatar menggencarkan bantuan keuangan kepada Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dan oposisi Suriah. Saudi dan Qatar sejak awal April 2012 memasok dolar AS dan euro.
Bersama Turki, dua negara itu memasok persenjataan ringan semisal senapan serbu AK-47, misil antitank dan peluncur granat kepada FSA. Majalah Time edisi 30 Juni 2012 menyebutkan jumlah senapan serbu yang dipasok lewat jalur Turki mencapai kurang lebih 5.000 pucuk. Sementara, AS sejauh ini selain menerjunkan agen CIA, juga mengucurkan bantuan medis dan peralatan komunikasi yang nilainya sudah mencapai 15 juta dolar AS.
Perang Saudara
Semua itu menunjukkan betapa keras upaya rezim Assad dan oposisi untuk memenangkan kontestasi. Bagaimana nasib Suriah ke depan? Apakah negeri berluas wilayah 185.180 km2 dengan 22,52 juta penduduk itu itu akan dilanda perang saudara berlarut-larut?
Kalangan analis umumnya menengarai keterusterangan negara luar mendukung pihak-pihak yang bertikai sebagai sinyalemen telah terjadi proxy war (perang perwakilan) di Suriah seperti terjadi antara Soviet dan AS setelah Perang Dunia II hingga akhir 1980-an. Kala itu proxy war terbukti telah menuntun Moskow ataupun Washington terlibat konflik di Korea, Vietnam, Kamboja, Libanon dan Afghanistan.
Dua negara adidaya itu bersama beberapa negara lain terlibat dengan mendukung pihak yang bertikai di negara-negara itu. Semua berlangsung lama, berlarut-larut. Bahkan Perang Korea secara teknis belum usai karena perang itu berhenti berdasarkan perjanjian gencatan senjata Juli 1953, bukan perjanjian damai.
Berdasarkan pengalaman proxy war di negara-negara tersebut, Suriah pun dikhawatirkan bisa dilanda perang saudara berlarut-larut lantaran baik rezim Assad maupun oposisi cenderung memiliki kekuatan seimbang akibat kengototan negara-negara luar yang terus memberi dukungan. Dampaknya, upaya damai utusan PBB dan Liga Arab Kofi Annan hampir tidak mempunyai arti apa pun. (10)
— Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
PERGOLAKAN politik di Republik Arab Suriah yang bermula dari upaya aktivis (oposisi) melengserkan Presiden Bashar Al-Assad mengalami perkembangan menarik. Pergolakan itu tak lagi hanya menyuguhkan demonstrasi kubu anti-Assad yang direspons represif hingga merenggut ribuan nyawa penduduk sipil dan militer tapi juga makin memperlihatkan keterusterangan sejumlah negara asing mendukung pihak yang berkonflik.
Dua kali veto Rusia dan China atas rancangan resolusi sanksi Dewan Keamanan PBB untuk Suriah, pasokan persenjataan dari Rusia dan Iran; serta dukungan politik, keuangan dan persenjataan negara Arab dan Barat, semisal Arab Saudi, Qatar, Jordania, Amerika Serikat (AS), Turki, dan Uni Eropa (UE) kepada kubu oposisi, merefleksikan makin keterusterangan dukungan pihak asing.
Dukungan, terutama Rusia kepada pemerintah Suriah, telah menyejarah. Jurnalis Peter Mansfield dalam buku A History of the Middle East menuliskan, Rusia (Uni Soviet) mulai membantu dengan memasok persenjataan ke Suriah sejak 1956. Haluan ideologi kiri Suriah berkait penguatan pengaruh Partai Sosialis Baath, mengokohkan hubungan antara Damaskus dan Moskow.
Naiknya Hafez Assad (ayah Bashar Assad) di kursi presiden tahun 1971, setelah tahun 1970 dia menggulingkan Presiden Nurrudin Al-Atasi, makin menguatkan kerja sama itu. Hafez Assad membangun kekuatan militer dengan berbagai peranti tempur buatan Rusia. Hal itu berlanjut pada era Bashar Assad. Saat ini pemerintah Suriah melengkapi kemampuan militernya dengan beragam peralatan tempur buatan Rusia.
Situs kajian militer Global Security mewartakan, koleksi persenjataan Suriah buatan Rusia akan bertambah banyak seiring dengan pengiriman baru perlengkapan militer dari Moskow ke Damaskus. Di pihak lain, Arab Saudi dan Qatar menggencarkan bantuan keuangan kepada Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dan oposisi Suriah. Saudi dan Qatar sejak awal April 2012 memasok dolar AS dan euro.
Bersama Turki, dua negara itu memasok persenjataan ringan semisal senapan serbu AK-47, misil antitank dan peluncur granat kepada FSA. Majalah Time edisi 30 Juni 2012 menyebutkan jumlah senapan serbu yang dipasok lewat jalur Turki mencapai kurang lebih 5.000 pucuk. Sementara, AS sejauh ini selain menerjunkan agen CIA, juga mengucurkan bantuan medis dan peralatan komunikasi yang nilainya sudah mencapai 15 juta dolar AS.
Perang Saudara
Semua itu menunjukkan betapa keras upaya rezim Assad dan oposisi untuk memenangkan kontestasi. Bagaimana nasib Suriah ke depan? Apakah negeri berluas wilayah 185.180 km2 dengan 22,52 juta penduduk itu itu akan dilanda perang saudara berlarut-larut?
Kalangan analis umumnya menengarai keterusterangan negara luar mendukung pihak-pihak yang bertikai sebagai sinyalemen telah terjadi proxy war (perang perwakilan) di Suriah seperti terjadi antara Soviet dan AS setelah Perang Dunia II hingga akhir 1980-an. Kala itu proxy war terbukti telah menuntun Moskow ataupun Washington terlibat konflik di Korea, Vietnam, Kamboja, Libanon dan Afghanistan.
Dua negara adidaya itu bersama beberapa negara lain terlibat dengan mendukung pihak yang bertikai di negara-negara itu. Semua berlangsung lama, berlarut-larut. Bahkan Perang Korea secara teknis belum usai karena perang itu berhenti berdasarkan perjanjian gencatan senjata Juli 1953, bukan perjanjian damai.
Berdasarkan pengalaman proxy war di negara-negara tersebut, Suriah pun dikhawatirkan bisa dilanda perang saudara berlarut-larut lantaran baik rezim Assad maupun oposisi cenderung memiliki kekuatan seimbang akibat kengototan negara-negara luar yang terus memberi dukungan. Dampaknya, upaya damai utusan PBB dan Liga Arab Kofi Annan hampir tidak mempunyai arti apa pun. (10)
— Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
No comments:
Post a Comment