Umat Muslim Arab Saudi diminta untuk memperhatikan langit, Kamis (19/7)
esok yang bertepatan dengan 29 Syaban 1433 Hijriyah. Permintaan itu
datang dari Mahkamah Agung Saudi sebagai upaya melihat kemunculan bulan
sabit sebagai tanda datangnya Ramadhan.
Arab News melaporkan, berdasarkan kalender Umm Alqura, diperkirakan Ramadhan bertepatan dengan 19 Juli 2012 Masehi. Dalam pengumumannya Senin (16/7) pagi, MA Saudi meminta siapa saja yang melihat bulan baru dengan mata telanjang, atau dengan bantuan teropong bintang, untuk segera melaporkannya ke pengadilan setempat, dan membuat surat kesaksian.
Atau untuk yang melihat hilal, bisa melapor ke pihak berwenang setempat jika di daerahnya tidak ada hakim. MA Saudi mendorong semua umat Muslim untuk memperhatikan keadaan langit, guna memantau kemunculan bulan baru.
Arab News melaporkan, berdasarkan kalender Umm Alqura, diperkirakan Ramadhan bertepatan dengan 19 Juli 2012 Masehi. Dalam pengumumannya Senin (16/7) pagi, MA Saudi meminta siapa saja yang melihat bulan baru dengan mata telanjang, atau dengan bantuan teropong bintang, untuk segera melaporkannya ke pengadilan setempat, dan membuat surat kesaksian.
Atau untuk yang melihat hilal, bisa melapor ke pihak berwenang setempat jika di daerahnya tidak ada hakim. MA Saudi mendorong semua umat Muslim untuk memperhatikan keadaan langit, guna memantau kemunculan bulan baru.
Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Menentukan awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:
- Melihat hilal ramadhan.
- Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Melihat Hilal Ramadhan
Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
(QS. Al Baqarah: 185)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً
، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan
Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila
mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”[1]
Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan
terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ
فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ
وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya.
Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.”[2]
Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat
mayoritas ulama berdasarkan hadits,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ
فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena
melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu
tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika
ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[3]
Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan
Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini
dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.[4]
Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan
dengan Hisab
Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara
hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat
bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ
نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah
(tulis-menulis)[5] dan tidak pula
mengenal hisab[6]. Bulan itu seperti ini
(beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat
dengan bilangan 30).”[7]
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-
mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan
ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada
orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan
ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca:
bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam
hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab.
Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka
sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah
kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di
tengah-tengah mereka.
Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam
berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang
satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan
(ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen)
sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun
mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil.
Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum.
Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti
(qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan
ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu
ini kecuali sedikit”.[8]
Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak
Terlihat Hilal
Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena
terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30
hari.
Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan,
“Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah
masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua
perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal
Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30
hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan
tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari
keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh
dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”[9]
Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan
Mayoritas Manusia
Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal,
lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti
puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara
para ulama.
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal
Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi[10] agar tidak
menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih
oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu
Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
(QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri
hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari
raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu
Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh
mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat
yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ
وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan
tatkala mayoritas kalian beridul adha.”[11]
Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan,
”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya
hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan
mayoritas manusia (masyarakat)”. ”
Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga
merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[12]
Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai
berikut.
Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di
langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia,
artinya semua orang mengetahuinya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna
kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan
suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui
oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di langit saja dan
tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam
itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata
dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali
jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang
mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak
disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat
hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar
luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan
menyebarkan berita kepada orang banyak.”[13]
Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal
sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika
hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan
begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr
(masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu
wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul
Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala
berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ
هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah:
“Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)[14]
Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr
(masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan
nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun
persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di
negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama
dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf,
tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali
bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun
seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ
وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan
tatkala mayoritas kalian beridul adha”
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ
الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di
negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau
mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.[15]
Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah
Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Misalnya ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga
berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal
sendiri-sendiri?
Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad
Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia).
Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan
kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika
salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang
(yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk
berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang
krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah.
Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini
bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin
menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan
hari raya kaum muslimin?
Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di
setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan
logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau
tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam
masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan
teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan
walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang
menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu
ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang
digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama
berdalil dengan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri
tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS.
Al Baqarah: 185)
Begitu juga firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ
هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah:
“Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)
Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena
melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena
adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini
masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus
berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam
ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah
terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat,
maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut.
Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada
dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika
penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat
majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka
menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[16]
Semoga sajian kali ini bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim
no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[2] HR. Abu Daud no. 2342. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92.
[5] Maksudnya, dulu kitabah (tulis-menulis) amatlah
jarang ditemukan. (Lihat Fathul Bari, 4/127)
[6] Yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam
ilmu nujum (perbintangan) dan ilmu tas-yir (astronomi). (Lihat Fathul Bari,
4/127)
[7] HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari
‘Abdullah bin ‘Umar.
[8] Fathul Bari, 4/127.
[9] Al Hawi Al Kabir, 3/877.
[10] Bukan terang-terangan sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian orang atau sebagian organisasi Islam di negeri ini
ketika mereka telah menyaksikan adanya hilal namun berbeda dengan pemerintah.
[11] HR. Tirmidzi no. 697. Beliau mengatakan hadits
ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[12] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92 dan Majmu’ Al
Fatawa, 25/114-115.
[13] Majmu’ Al Fatawa, 25/109-110.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 25/115-116.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 25/117.
[16] Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al
‘Ilmiyah wal Ifta’no. 388, 10/101-103. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh
‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh Abdullah bin Mani’ dan Syaikh
‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.
sumber : - artikel muslim.or.id
- berita republika.
No comments:
Post a Comment