Jam’iyah al Kitab wa al Sunnah, sebuah organisasi yang menyerahkan
bantuan kepada para pengungsi Suriah di Urdun bercerita, “Aku merasakan
kesedihan yang sangat mendalam setiap kali melihat penderitaan yang para
pengungsi itu. Yang mengiris hatiku adalah kenyataan bahwa sebenarnya
umat Islam yang mampu memberikan bantuan lebih banyak kepada saudara
mereka belum melakukan yang optimal.”
Kondisi miris yang hampir
selalu kami saksikan adalah terdapatnya keluarga-keluarga Suriah yang
hidup di bekas-bekas perumahan yang sama sekali tidak kondusif.
Tempat-tempat tersebut memang menutup mereka dari penglihatan orang
lain. Tetapi itu sama sekali tidak memadai untuk hidup di tengah kondisi
musim panas atau dingin. Belum lagi kondisi kelaparan yang mengancam
para pengungsi itu.
“Aku pernah keluar pukul sembilan pagi
bersama seorang donatur,” cerita Hammad. “Kami mengendarai mobil yang
membawa perabotan rumah tangga buat diberikan kepada para pengungsi.
Kami masuk ke sebuah rumah. Kami dikejutkan dengan pemandangan yang
sangat menyedihkan. Sebuah keluarga pasangan suami-istri dengan seorang
anaknya yang masih kecil. Aku melihat ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
perabot apa pun, selain sebuah kasur yang sudah tak layak pakai dengan
dua lembar selimut tua.”
‘Di mana kalian tidur semalam,’ tanyaku. ‘Di atas kasur ini,’ jawab si suami.
“Kami
sangat terpukul,” lanjut Hammad. “Saat itu musim dingin yang menusuk
tulang. Bagaimana mereka bisa bertahan? Bagaimana dengan anaknya yang
cuma mengenakan pakaian tipis?”
“Pemandangan tersebut sangat
menyentuh kami. Kami kira, tidak seorang pun muslim yang tahu kondisi
mereka akan berpangku tangan dan tidak berupaya membantu sesama
saudaranya. Mereka pengungsi yang lari menyelamatkan diri dari perang,
dan tidak membawa apa pun selain pakaian yang melekat di
badan.”
Syeikh Hammad punya cerita lainnya. “Di wilayah
terpencil, sebuah keluarga hidup di rumah tua. Kami datang ke sana
setelah mendengar informasi tentang keberadaan keluarga tersebut. Yang
kami dapati cuma dinding luar rumah dengan jendela yang sudah hancur.
Tikus berkeliaran di mana-mana. Dapat saudara bayangkan, rumah itu
ditempati seorang ibu dengan empat anaknya yang masih kecil. Bukan itu
saja. Ibu itu menderita epilepsi. Seorang anaknya juga menderita
penyakit kanker. Seluruh anak-anaknya hanya berpakaian setengah badan.
Sedihnya, karena sehari-hari mereka hanya mendapatkan makanan dari
tempat sampah.”
Adapun kisah seorang ibu hamil yang terkena
tembakan di perutnya di perbatasan Suriah dan Urdun, sungguh merupakan
tragedi kemanusiaan. Bagaimana mungkin ada manusia yang tega mengusir
seorang perempuan hamil dan mencoba membunuhnya bersama janin yang
dikandungnya?
Saat itu, ibu tersebut sedang berusaha melompat
bersama suaminya dan seorang anaknya yang kecil untuk menyeberangi
perbatasan Suriah. Terkena tembakan, dia jatuh pingsan di belakang kawat
besi tajam perbatasan. Alhamdulillah, seorang tentara Urdun yang
kasihan berusaha menyelamatkannya dan membawanya menyeberang.
Keluarga
kecil itu telah berjalan kaki sejauh tiga kilometer. Mereka lari dari
perang yang berkecamuk untuk mencari tempat yang aman. Alhamdulillah,
wanita itu akhirnya bisa dibawa ke rumah sakit bersama suaminya yang
juga luka akibat tembakan di kakinya.
Bantuan Kemanusiaan
Sejak
revolusi Suriah pecah Maret 2011 silam, bangsa Urdun berdisi di samping
saudara-saudara mereka di Suriah. Banyak faktor yang mendukung hubungan
kedua bangsa itu, khususnya faktor kesamaan agama dan akidah.
Olehnya
itu, sejak pertama pengungsi Suriah asal Dir’a melarikan diri dari
kekerasan pasukan Nushairiyah ke Ramtsa, sebuah kota di Urdun,
organisasi-organisasi swasta dan sosial telah memberikan bantuannya.
Para
pengungsi Suriah di Urdun terdistribusi kepada tujuh kota: Irbid,
Ramtsa, Mifraq, Zarqa, Jarasy, Kurk dan Oman. Pengungsi itu juga
bermacam-macam. Ada yang secara ekonomi mampu, namun ada juga yang tidak
punya harta sama sekali. Mereka inilah yang diberikan bantuan oleh
organisasi-organisasi dan person yang membantu. Ada juga dari pengungsi
itu yang tinggal di rumah kerabat mereka yang kebetulan tinggal di
Urdun.
Jumlah pengungsi Suriah di Urdun, sesuai laporan
perhitungan lapangan, sekitar 200 ribu orang. Dari jumlah itu, yang
terdata di organisasi sosial sekira 100 ribu orang. Jam’iyah al Kitab wa
al Sunnah yang dipimpin Syekh Hammad menanggung sebagian besar
pengungsi itu. Data Jam’iyah mencatat 50 ribu pengungsi. Jumlah tersebut
masih terus bertambah hingga laporan ini dibuat.
Kesehatan dan Kehidupan PengungsiKondisi
kesehatan sebagian pengungsi sangat memprihatinkan. Hal tersebut akibat
langsung dari kondisi perang di Suriah atau di perjalanan ketika
menyelamatkan diri. Sehingga sebagian dari mereka sebenarnya membutuhkan
bantuan kesehatan segera. Namun minimnya biaya menjadi penghalang untuk
mendapatkan pelayanan medis yang layak. Situasi yang akhirnya berdampak
pada kondisi psikologis korban perang itu.
Diperkirakan saat ini
terdapat 500 kasus pengungsi yang membutuhkan penanganan medis segera.
Jumlah yang terus bertambah menyusul situasi Suriah yang belum stabil.
Sedangkan
pengungsi dengan penyakit di luar luka-luka, seperti menderita
diabetes, hipertensi, cardiac, dll. diperkirakan sekitar 20 ribu kasus.
Mereka memerlukan obat yang dikonsumsi secara teratur. Jumlah ini belum
menghitung kondisi sakit ringan dan bersalin, serta penyakit kejiwaan
yang juga membutuhkan penanganan tersendiri.
Adapun
kehidupan sehari-hari pengungsi Suriah, yang paling ringan adalah yang
tidak harus meminta-minta. Mereka adalah yang mendapatkan bantuan lewat
lembaga-lembaga sosial dan kemanusiaan. Mereka memperoleh paket makanan
sekali atau dua kali dalam sebulan. Sekadar untuk menahan lapar.
Setiap
paket biasanya terdiri dari makanan kaleng, gula dan beras. Tidak ada
sayuran, daging, ayam atau makanan khusus bayi, seperti susu atau popok.
Pengungsi wanita juga menghadapi masalah khusus, terkait perlengkapan
pribadi mereka.
Kondisi Urdun sendiri tidak memiliki perkemahan
khusus buat pengungsi. Akibatnya, pengungsi harus ditempatkan di
rumah-rumah kontrak yang biayanya berkisar $ 150 – 250 per bulannya.
Patut diketahui bahwa kehidupan di Urdun cukup mahal.
Keluarga
yang tidak mendapatkan biaya kontrak terpaksa tinggal dengan keluarga
lainnya. Sehingga satu rumah bisa ditinggali sampai tiga keluarga
sekaligus.
Keadaan ini menunjukkan bahwa kontrak rumah menjadi
salah satu kebutuhan primer bagi para pengungsi itu. Jam’iyah al Kitab
wa al Sunnah sendiri membutuhkan 1 juta dollar perbulan buat kontrakan
rumah bagi pengungsi.
Adapun untuk pendidikan, pemerintah Urdun
mengizinkan anak-anak pengungsi untuk belajar di sekolah-sekolah milik
pemerintah secara gratis. Kebijakan tersebut memberi ketenangan kepada
para orangtua terhadap status dan masa depan pendidikan anak-anak
mereka. Kendati implementasi kebijakan tersebut tentunya terkait dengan
kapasitas dan daya tampung masing-masing sekolah. Sehingga kebutuhan
terhadap sekolah swasta tidak dapat dielakkan.
Program Kemanusiaan dan TantangannyaLewat
pengamatan sepintas terhadap perkemahan dan penampungan para pengungsi
Suriah, kita dapat menyimpulkan sejumlah faktor yang menyebabkan belum
optimalnya program kemanusiaan di sana. Di antara sejumlah faktor
tersebut, yang penting antara lain: masih minimnya jumlah bantuan jika
dibandingkan dengan kebutuhan para pengungsi, keterlambatan bantuan tiba
di lokasi, perbedaan antara banyaknya pengumuman tentang proyek
kemanusiaan dengan realitas yang ada di lapangan. Untuk faktor yang
disebut terakhir, pada banyak kasus mengganggu peta penanganan
kemanusiaan yang telah disusun serta menimbulkan prasangka terhadap
petugas kemanusiaan.
Faktor lainnya adalah masih banyaknya
donatur yang terfokus kepada bantuan berbentuk makanan, sementara banyak
kebutuhan primer lainnya luput. Seperti diketengahkan di atas, banyak
keluarga pengungsi yang tidak mampu menanggung sewa kontrak rumah.
Faktor
lainnya yang termasuk kendala adalah sikap sebagian donatur yang
memaksakan untuk mendistribusikan sendiri bantuannya. Hal yang akhirnya
mengganggu jadual pendistribusian bantuan, bahkan menjadikannya di
tangan donatur.
Donasi yang didistribusikan langsung juga
mengalami kesulitan buat menentukan prioritas keluarga yang berhak
diberi bantuan. Apalagi sebagian besar pengungsi tinggal di rumah-rumah
kontrak yang berjauhan satu sama lain, bukan di perkemahan yang
terlokalisasi. Akibatnya, dibutuhkan waktu, tenaga serta kost yang lebih
besar daripada semestinya. Demikianlah sejumlah tantangan yang menjadi
kendala bagi program kemanusiaan buat pengungsi Suriah.
Ancaman KritenisasiLembaga-lembaga Barat berkedok kemanusiaan aktif melakukan mizi Zending dengan memanfaatkan kebutuhan para pengungsi.
Kelompok-kelompok
gereja giat mendistribusikan bantuan kepada keluarga-keluarga pengungsi
lewat tenaga para misionari. Biasanya distribusi tersebut dilakukan
langsung atas nama gereja atau sekolah seminari. Mereka membagikan
bantuan yang disertakan dengan Injil dan selimut bergambar Salib.
Sebagian bantuan materi diselipkan brosur yang berisi pesan-pesan
Kristenisasi, sedangkan bantuan medis diberikan setelah pasien
mengucapkan ungkapan-ungkapan pengampunan dosa dan ketuhanan Nabi Isa
alaihis salam.
Persoalan Status TinggalTidak
dapat dilupakan persoalan status tinggal bagi pengungsi yang masuk
wilayah Urdun tanpa melewati jalur penyeberangan resmi. Pengungsi yang
masuk Urdun di luar jalur penyeberangan resmi terancam ekstradisi,
kecuali bila mereka mendapatkan penjamin. Itupun mereka diharuskan
membayar 6 dinar Urdun per orang, plus jaminan 3000 dinar Urdun yang
ditandatangani hitam di atas putih.
Masalah lainnya adalah
pengungsi asal Palestina yang sebelumnya tinggal di Suriah. Otoritas
Urdun memperlakukan mereka sebagai orang yang tidak melewati jalur
penyeberangan resmi. Dan dengan alasan politik yang tidak jelas,
pengungsi asal Palestina itu tidak diperkenankan untuk mendapatkan
penjamin.
Kebutuhan Mendesak
Keperluan hidup berupa biaya kontrak rumah, keperluan bayi seperti
susu dan serbet, perlengkapan khusus wanita, karpet, serta paket
makanan.
Bantuan kesehatan berupa operasi bagi korban luka dan tindak lanjut penanganannya, penanganan bagi kasus persalinan serta penyakit-penyakit kronik umumnya. Termasuk kebutuhan terhadap klinik yang khusus menangani masalah mental yang banyak menimpa wanita dan anak-anak akibat pengalaman buruk yang mereka lalui. Pengalaman buruk yang menimpa pengungsi Suriah umumnya seperti penembakan di depan mata, atau penggerebekan, atau penyiksaan.
Bantuan pendidikan berupa
biaya dan kebutuhan sekolah, serta iuran sekolah bagi yang terpaksa
masuk sekolah swasta. Kondisinya, lebih banyak lagi anak putus sekolah
yang lebih membutuhkan pelatihan keterampilan.
Bantuan dakwah
berupa buku-buku agama dan mushaf Al Qur’an bagi keluarga-keluarga
pengungsi. Di lapangan, penulis mendapati banyaknya permintaan langsung
terhadap buku-buku agama dan mushaf, karena banyak juga dari mereka yang
sangat awam terhadap dasar-dasar agama.
Bantuan bagi keluarga
syuhada, orang hilang dan tahanan politik rezim berbentuk santunan rutin
bagi yatim piatu serta perhatian terhadap kebutuhan mereka yang lain,
seperti dukungan moril dan pendidikan.
Termasuk dalam kategori
ini anak-anak para perjuang revolusi. Tidak sedikit dari laki-laki yang
harus meninggalkan keluarganya di Urdun untuk kembali ke Suriah
mendukung gerakan revolusi.
Tidak lupa yang telah disinggung di
atas ialah kebutuhan pengungsi dengan status tinggal sementara, baik
itu biaya jaminan maupun paket makanan sesuai dengan kondisi status
mereka.
Sebagai penutup, penderitaan pengungsi Suriah tidak hanya
terjadi di Urdun. Sebab sejumlah besar mereka juga berada di Libanon
dan Turki.
Memasuki bulan Ramadhan, setiap muslim menghadapi
ujian sesungguhnya, sejauh mana dia bisa berkontribusi meringankan beban
penderitaan saudaranya sesama muslim. Tidak bisa diabaikan bahwa bangsa
Suriah sesungguhnya telah berdiri menghadapi tantangan umat terbesar,
yaitu sekte Nushairiyah dan aliansi Majusinya.*/alb
Artikel ini hasil kerjasama antara hidayatullah.com dengan Majalah Internasional Al Bayan
No comments:
Post a Comment