Jika
krisis di Suriah dilepas dari semua unsur ekternal, seperti upaya
kekuatan-kekuatan dunia untuk mempertahankan pengaruhnya, faktor
keamanan Israel, serta “proyek bulan sabit” Syiah Shafawiyah (Iran),
maka yang tersisa di dalam sebenarnya ada dua: Ahlus Sunnah dan sekte
Syiah, baik itu Rafidhah ataupun Nushairiyah. Dengan kata lain, salah
satu faktor penting yang justru memainkan peran yang sangat besar dalam
krisis di Suriah adalah faktor ideologi atau agama.
Faktor ideologi ini, khususnya Nushairiyah, merupakan akar krisis
Suriah, yang menjadi “bara dalam sekam” yang kemudian baru mencuat ke
permukaan publik dunia lewat Syrian Spring.
Nushairiyah sendiri merupakan salah satu gerakan Bathiniyah, yaitu aliran yang mengklaim adanya tafsiran batin yang eksklusif terhadap teks-teks syariat. Tafsiran batin itulah yang merupakan pengetahuan sejati, yang luput dari mayoritas manusia. (al Hawali, 2010: 70).
Gerakan ini pecah dari induk semangnya, Syiah Itsna ‘Asyariyah, lewat
propaganda pendirinya, Abu Syu’aib muhammad ibn Nushair al Bashri al
Numayri (270 H). Ibn Nushair, yang namanya kelak menjadi simbol bagi
gerakan ini, mendaulat diri sebagai “al bab” atau gerbang rohani manusia
kepada Imam Hasan al Askari (imam ke-11 Syiah Itsna ‘Asyariyah) dan
Imam Mahdi (imam ke-12 Syi’ah Itsna ‘Asyariyah).
Dalam segi
pemikiran, aliran ini memiliki kemiripan yang sangat kuat dengan
sekte-sekte radikal dan ekstrim dalam Syiah, khususnya Qaramithah dan
Itsna ‘Asyariyah. Mereka mengimani ketuhanan atau sifat semi-ilahiyah
sahabat Ali ibn Abi Thalib, memiliki ritual ganjil dan sistem organisasi
yang penuh rahasia dan tertutup.
Sebagian rahasia dan keyakinan
sekte ini terbuka ke dunia luar di abad ke-13 Hijriyah. Saat itu,
seorang pengikut setia sekte Nushairiyah bernama Sulaiman Afandi al
Adzni terpengaruh gerakan misi dan beralih ke agama Nasrani. Dia
kemudian melarikan diri ke Beirut. Di sana, dia menulis buku berjudul al Bakurah al Sulaimaniyah. Dia mengungkap ajaran-ajaran Nushairiyah serta kritik yang dia ajukan dari sudut pandang barunya sebagai pemeluk Nasrani.
Terang saja buku tersebut membuat gempar dan menjadikan dia buronan Nushairiyah. Tapi pengikut Nushairiyah memilih jalan licik. Keluarga al Adzni, yang loyal kepada ajaran sekte, membujuk dan mendekati al Adzni untuk pulang kampung.
Setelah usaha yang tak kenal lelah, al
Adzni akhirnya masuk perangkap. Dia bersedia pulang kampung dengan
jaminan keamanan. Setelah tiba di wilayah Nushairiyah, Ladziqiyah
(Latakia, Suriah), pengikut sekte mencekiknya dan membakar jasadnya di
tempat terbuka. (al Juhani, 2003: 390-394).
Dalam
masyarakat Suriah modern, pengikut Nushairiyah diperkirakan 10% dari
total penduduk, atau sekitar 1.700.000 jiwa. Setengah abad yang lalu,
mereka mendiami daerah-daerah pinggiran, mengingat keyakinan mereka yang
jauh dari Islam dan umatnya. Tapi lewat pengikutnya, Hafiz al Assad
yang merebut kekuasaan di Suriah tahun 1970 M, orang-orang Nushairiyah
melakukan mobilisasi dan berpenetrasi ke pemerintahan dan militer.
Pejabat-pejabat tinggi negara dan militer yang umumnya Nushairi, pindah
mukim ke kota-kota besar Suriah.
Model pemerintahan yang dikembangkan oleh Hafiz al Assad sejak berkuasanya adalah pemerintahan yang sektarian (al hukm al tha’ifi), yang bertumpu pada pengikut Nushairiyah. Lingkaran kekuasaan hanya terdiri dari pengikut sekte tersebut atau keluarga dekat Hafiz al Assad.
Model pemerintahan yang dikembangkan oleh Hafiz al Assad sejak berkuasanya adalah pemerintahan yang sektarian (al hukm al tha’ifi), yang bertumpu pada pengikut Nushairiyah. Lingkaran kekuasaan hanya terdiri dari pengikut sekte tersebut atau keluarga dekat Hafiz al Assad.
Partai Ba’ats yang merupakan partai pemerintah tidak lebih sebagai
ornamen politik belaka. Dari tahun 1975 hingga 2000 M, partai ini hanya
empat kali melakukan muktamar. Itupun sekadar untuk melegitimasi
kepentingan politik Hafiz al Assad dan sarat rekayasa. Model politik ini
juga yang kemudian dilanjutkan oleh diktator yang sekarang, Bashar al
Assad. (Taqrir Irtiyadi al Bayan, 2012: 155-167).
Kekuatan Syiah Itsna ‘Asyariyah, baik itu yang ada di dalam maupun
yang lewat Iran, juga menjadi faktor yang turut memberi saham
mengakarnya pengikut Nushairiyah di sendi-sendi kehidupan strategis di
Suriah. Tak heran jika Yusuf al Shagir, pengamat politik dunia Islam
menyebut Suriah sebagai: Dawlah al Bathiniyah al Muttahidah atau “negara
bathiniyah serikat”.*/Haedar Bazargan
Artikel ini adalah hasil kerjasama hidayatullah.com dengan majalah Al Bayan
Artikel ini adalah hasil kerjasama hidayatullah.com dengan majalah Al Bayan
No comments:
Post a Comment