Oleh Khairil Miswar –
Sebelum menulis tentang persoalan
ini, penulis sempat berpikir ratusan kali tentang efek negatif dari
sebagian sahabat yang nantinya kebetulan membaca tulisan ini.
Sebenarnya, penentangan yang akan datang dari sebagian sahabat menurut
penulis wajar–wajar saja dan merupakan konsekuensi yang harus diterima
sepenuh hati. Sebelumnya beberapa tulisan dengan tema hampir serupa,
baik yang dimuat oleh Harian Aceh maupun di beberapa media online banyak
mendapat kritik dan kecaman dengan bahasa yang kurang sedap. Kecaman
dan kritik tersebut biasanya terjadi di kolom komentar yang terletak di
bawah tulisan (edisi website).
Membaca komentar–komentar tak sedap tersebut penulis bukannya menjadi
gentar tapi malah tambah bersemangat untuk menulis. Semakin banyak
komentar (meskipun tak sedap) setidaknya menjadi bukti kecil bagi
penulis bahwa tulisan tersebut dibaca orang. Persoalan ide dalam tulisan
tersebut diterima atau ditolak mentah–mentah itu adalah urusan yang
sangat tidak penting untuk digubris. Yang penting tulisannya dibaca
dulu, dari dua puluh orang pembaca bukan tidak mungkin ada satu orang
yang bisa menerima ide atau pendapat penulis.
Bukankah sesuatu yang banyak itu berawal dari sedikit? Hitungan
normal selalu dimulai dari angka satu kemudian dilanjutkan dengan dua
dan seterusnya. Menurut penulis, beberapa kalimat di atas sudah memadai
sebagai pengantar tulisan singkat ini. Selanjutnya kita akan membahas
sebuah topik simalakama sekaligus dilematis, kritis dan kontroversi
namun tidak provokatif.
Siapa Wahabi?
Bagi sebagian orang (mayoritas) ketika mendengar istilah wahabi
wajahnya menjadi merah menyala, telinga mengembang (bahasa Aceh; capang
puny’ung), tangan mengepal, kaki menghentak dan dilengkapi dengan
pertemuan dua sisi gigi (atas dan bawah) atau dalam bahasa keren sering
diistilahkan dengan “kab igoe”. Mereka adalah orang–orang yang (mungkin)
salah faham dan tidak mengenal apa itu wahabi. Namun demikian ada
sebagian kecil orang (minoritas) yang tersenyum, hati tenang, pikiran
dingin sambil tertunduk dan mengucap doa dalam hati. Mereka adalah orang
yang kenal baik dengan wahabi atau setidaknya pernah membaca sejarah
wahabi.
Syaikh Muhammad bin Manzhur An–Nu’mani dalam “Di’ayaat Mukatsafah
Diddu Asy–Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hal 105–106 sebagaimana
dikutip oleh Sofyan Chalid bin Idham Ruray, dalam bukunya “Salafi Antara
Tuduhan dan Kenyataan”, menyebutkan bahwa sejarah telah mencatat bahwa
istilah wahabi pertama sekali disematkan kepada Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab dan pengikutnya oleh penjajah Inggris ketika mereka mendapat
perlawanan keras dari para mujahid India. Seorang ulama dari Al Azhar
Mesir, Syaikh Muhammad Hamid Al–Faqi menyatakan bahwa penisbatan nama
Wahabi kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab salah dalam bahasa Arab,
yang benar penisbatannya adalah Muhammadiyah (bukan wahabiyah) karena
nama beliau adalah Muhammad, sedangkan Abdul Wahab adalah nama ayahnya
(Sofyan Chalid: Salafi Antara Tuduhan dan Kenyataan, Toobagus
Publishing, 2011, hal. 38).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan di ‘Uyainah (Nejd) pada
tahun 1115 H. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang reformis
Islam yang telah berjasa memurnikan Islam dari unsur–unsur syirik,
bid’ah dan khurafat yang merajalela di wilayah Nejd dan sekitarnya (Abu
Mujahid & Haneef Oliver, Virus Wahabi, Toobagus Publishing, 2010,
hal. 120 – 121).
Mengkafirkan Kaum Muslimin?
Berkembang fitnah di dunia Islam bahwa Syaikh Muhammad Bin Abdul
Wahab mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sependapat dengannya. Beliau
juga dituduh telah membawa agama baru yang bertentangan dengan
Ahlussunnah Waljama’ah. Isu–isu ini masih sangat hangat di Indonesia,
khususnya di Aceh mitos ini sudah mengakar yang diturunkan oleh seorang
guru kepada muridnya dalam bentuk dogma yang tidak boleh dibantah. Dalam
pandangan penulis, cerita–cerita tersebut adalah fitnah besar yang
sengaja dihembuskan oleh orang–orang yang tidak senang dengan dakwah
tauhid yang beliau bawa.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam risalahnyanya menyebutkan bahwa
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam suratnya yang dikirimkan kepada
salah seorang ulama Iraq bernama As Suaidi. Dalam surat tersebut Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab berkata (menulis): “Adapun saya menjelaskan
kepada manusia pemurnian agama kepada Allah, saya melarang mereka dari
menyeru kepada orang–orang yang masih hidup namun tidak hadir di tempat
tersebut atau orang shalih yang telah mati. Saya juga melarang mereka
dari mempersekutukan Allah. Di antara apa yang anda sebutkan bahwasanya
saya mengkafirkan seluruh manusia kecuali yang mengikuti saya, betapa
mengherankannya hal ini. Bagaimana hal ini bisa masuk ke dalam akal
seorang yang berakal? Apakah ada seorang muslim yang mengatakan hal ini?
Saya berlepas diri kepada Allah dari ucapan yang tidak keluar kecuali
dari orang yang kurang akal ini” (Muhammad Jamil Zainu, Mitos Wahabi,
terj.Abu Muhammad Farhan&Abu Yusuf, 2010, hal. 45 – 46). Dalam isi
surat tersebut Nnampak jelas bahwa Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab
membantah tuduhan dari orang–orang yang anti terhadap dakwah beliau.
Benarkah Wahabi Sesat?
Salah satu kitab yang pernah ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab adalah “Kitabut Tauhid”, di dalamnya banyak berisi ayat–ayat Al
Quran dan juga hadits Nabi Saw. Dalam kitab tersebut terdapat
dalil–dalil tentang keutamaan tauhid. Dalam kitab tersebut beliau tidak
pernah mengajak untuk menyembah selain Allah, dan malah beliau adalah
orang yang paling tegas dalam menolak segala jenis kesyirikan (Muhammad
bin Abdul Wahab, Kitab Tauhid, terj. Abu Ismail Fuad, Yogyakarta:
Pustaka Al Haura, 2009).
Tentang aqidah yang dianut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab juga
sudah banyak disyarah oleh para ulama, di antaranya Syarah Aqidah
Muhammad bin Abdul Wahab yang ditulis oleh Syaih Zaid bin Muhammad
Al–Madkhaly. Di dalam kitab tersebut beliau membahas secara jelas dan
rinci tentang aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (Zaid bin Muhammad
Al–Madkhaly, Syarah Aqidah Muhammad bin Abdul Wahab, terj. Hanan Hoesin
Bahanan, Solo, Pustaka Ar–Rayyan, 2007). Seorang ulama besar Saudi,
Syaikh Muhammad bin Shalih Al–‘Utsaimin juga telah banyak melakukan
pensyarahan terhadap kitab–kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, di
antaranya Syarah Tsalasatul Ushul yang berisi tentang tiga landasan
agama; pengetahuan hamba terhadap Rabbnya, pengetahuan hamba terhadap
agamanya, pengetahuan hamba terhadap Nabinya (Muhammad bin Shalih
Al–‘Utsaimin, Syarah Tiga Landasan Agama, terj. Abu ‘Abdirrahman
Muhammad, Tegal: Ash – Shaf Media, 2009).
Dari sumber–sumber yang penulis sebutkan di atas tidak ditemukan
adanya penyelewengan ataupun kesesatan yang selama ini dituduhkan kepada
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Jika ada sahabat yang ingin meneliti
lebih dalam bisa merujuk kepada beberapa sumber tersebut dan juga
sumber–sumber lain yang tidak mungkin semuanya penulis sebutkan di sini.
Penulis menyarankan para sahabat untuk membaca langsung di kitab
aslinya. Namun jika tidak faham bahasa Arab, para sahabat bisa juga
mencari edisi terjemahan yang sudah banyak beredar di Indonesia.
Jangan Lagi Menghujat
Di akhir tulisan ini penulis mengajak para sahabat yang selama ini
sudah terlanjur menghujat dan menyesatkan Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab dan juga pejuang sunnah lainnya seperti Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Syaikh Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh
Rasyid Ridha, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Bazz, Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syaikh Muhammad Nashieruddin Al Al Bani, Syaikh
Shalih bin Fauzan Al Fauzan dan sederetan ulama lainnya yang tidak
mungkin penulis sebutkan semuanya di sini. Berhentilah menghujat mereka,
apalagi sebagian dari mereka telah meninggal dunia dan tidak lagi mampu
membalas fitnah–fitnah yang selama ini kita tuduhkan kepada mereka.
Apa gunanya menghujat orang yang sudah meninggalkan dunia ini. Jika
memang ada pendapat ataupun fatwa mereka yang mungkin tidak bersesuaian
dengan pandangan kita jangan diikuti tanpa perlu mencela. Ulama–ulama
tersebut yang oleh sebagian orang diklaim sebagai “WAHABI” bukanlah
kumpulan malaikat, mereka manusia biasa seperti kita, mereka tidak
“ma’shum”. Mereka juga tidak terlepas dari salah dan silap, namun
berjiwa besarlah terhadap kebenaran yang mereka bawa. Kita tidak bisa
menafikan jasa–jasa mereka terhadap umat ini. Jika ada kesilapan yang
telah mereka lakukan jadikanlah sebagai alasan bagi kita untuk mendoakan
mereka, jangan sebaliknya menjadikan kesilapan dan kesalahan mereka
sebagai bibit kebencian dan alasan untuk menghujat para ulama. Ingatlah,
ulama adalah pewaris para Nabi. Wallahul Waliyut Taufiq.[]
*Penulis adalah Alumni IAIN Ar Raniry/Peminat Kajian Sosial, Politik dan Keagama
http://harian-aceh.com
No comments:
Post a Comment