Tidak banyak yang tahu, bahwa hari Kamis kemarin
ada sebuah tonggak sejarah yang bisa dikategorikan sebagai revolusi di
masyarakat Arab Saudi. Sebuah tonggak sejarah sebagai buah dari
perdebatan panjang (konon selama 8 tahun) yang berakhir dengan manis.
Semuanya pihak yang beradu opini akhirnya bisa sepakat, minimal saat
ini. Padahal masalahnya sebenarnya sepele. Mungkin tidak akan pernah
terpikirkan oleh masyarakat lain di dunia…, yaitu masalah pakaian dalam
wanita (lingerie). Lho, apanya yang jadi masalah?
Saudi adalah negara berdasarkan syariah Islam.
Setidaknya itulah yang tercantum di konstitusi negaranya. Tetapi karena
masalah penafsiran, sudah lama para wanita dilarang berjualan di pasar.
Pasar-pasar di kota besar, baik yang tradisional maupun mall, dikuasai
oleh laki-laki sebagai penjaga tokonya. Praktis tidak ada wanita yang
bekerja menjaga toko atau menjadi kasir.
Alasan utama melarang wanita berjualan di pasar
adalah bercampurnya pria dan wanita di tempat umum. Ini memang
mengundang perdebatan. Tapi begitulah otoritas ulama memberlakukan
aturan. Mereka menganggap bahwa wanita tidak boleh bekerja sebagai
pelayan toko karena akan memancing zina bila pembelinya laki-laki.
Sayangnya tidak ada larangan bagi perempuan untuk membeli di toko yang
pelayannya laki-laki. Memang tidak mungkin melarang perempuan berbelanja
toh?
Lalu muncullah gugatan tsb. Para wanita Saudi mulai
protest karena bahkan di toko pakaian dalam wanita pun, pelayan tokonya
pria semua. Kampanye “enough embarrassment” (sudah cukuplah malunya)
mempunyai argument yang jelas. Wanita mana yang tidak rikuh mencari bra
dan CD yang sesuai ukuran tubuhnya jika harus bertanya pada laki-laki
asing? Suami sendiri saja mungkin tidak tahu ukuran bra dan CD
isterinya, apalagi laki-laki pelayan toko yang tidak dikenal. Pelayan
toko juga rikuh. Kalau calon pembeli adalah perempuan berbaju ketat,
mungkin sang pelayan toko masih bisa menebak ukuran bra dan CD-nya. Tapi
kalau yang datang adalah perempuan berpakaian abaya longgar khas
perempuan Arab, siapa yang bisa menebak ukuran pribadinya?
Praktis, toko-toko penjual lingerie hanya bisa
mengandalkan merk besar untuk menjual dagangannya. Mereka tidak mungkin
menampilkan iklan wanita hanya menggunakan pakaian dalam seperti di
negara lain. Dan para pelayan toko yang seharusnya menjadi ujung tombak
penjualan juga tidak bisa bertindak sebagai advisor atau konsultan bagi
pembelinya. Para pelayan toko tidak lebih sebagai kasir yang menerima
uang dan membungkus barang. Produk baru atau produk khusus (misalnya bra
khusus untuk ibu menyusui), jelas tidak mungkin ditawarkan karena para
penjual dan pembeli sama-sama rikuh.
Toh perdebatan itu tak kunjung usai.
Pertengahan tahun 2010, beberapa supermarket besar
mencoba terobosan. Mereka mengijinkan beberapa wanita untuk menjadi
kasir. Sasarannya jelas, mereka ingin agar para pembeli wanita lebih
nyaman berbelanja di supermarket. Untuk hal itupun, jalur kasir
dimodifikasi. Untuk kasir wanita, dibuatkan semacam box dangan iced
glass sehingga tidak terbuka seperti jalur kasir supermarket secara
umum. Di dalam box tsb, pelayan pembungkus barangnya juga wanita. Jadi
sang kasir dan pembantu pembungkus barang tidak sembarangan berinteraksi
dengan rekan pria di jalur kasir yang lain. Hal ini untuk menangkis
tudingan bahwa para wanita dan pria berkumpul di ruangan yang sama.
Sudah tentu, pembeli yang mengantri di kasir wanita juga dibatasi, hanya
untuk wanita.
Woman Cashier |
Hanya dalam tempo sebulan, beberapa counter kasir
wanita langsung menghilang. Tidak ada keterangan jelas, apakah karena
ditekan oleh otoritas ulama atau karena sang kasir merasa malu mendapat
cemoohan masyarakat. Jangan kaget, di masyarakat Saudi, pekerjaan kasir
masih dianggap sebagai pekerjaan yang tidak layak dikerjakan oleh
wanita. Tapi di hypermarket besar seperti Panda, beberapa kasir wanita
masih bertahan walaupun jumlahnya berkurang.
Praktis, perjuangan beberapa wanita yang ingin
berbelanja lingerie dengan dilayani oleh perempuan agak menyurut. Kasus
kasir wanita bisa dianggap sebagai test-case yang kurang sukses.
Akhirnya datanglah faktor pemicu dari luar.
Revolusi mengguncang dunia Arab di penghujung 2010 dan sepanjang 2011,
dari Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Suriah dan pernah menyerempet
Bahrain. Sedikit banyak Arab Saudi juga terimbas. Pemerintah mulai
mencoba berkompromi dengan rakyatnya agar tidak terjadi pergolakan di
Saudi. Salah satu yang dibenahi adalah masalah pengangguran yang
diam-diam sangat kronis.
Ternyata pengangguran di Saudi diam-diam mencapai
angka di atas 10,5% dengan sebagian besar adalah wanita. Oleh karena
itu, tahun 2011 banyak diisi oleh program pemerintah Saudi untuk
mengangkat taraf hidup rakyat Saudi dengan memperbanyak dan memperluas
lapangan pekerjaan. Apa boleh buat, pemerintah Saudi harus menoleh
kepada rakyatnya sendiri sebelum segalanya terlambat.
Data demografi penduduk Saudi memang agak unik.
Hasil sensus tahun 2010, penduduk Saudi sekitar 27 juta jiwa. Uniknya,
warga negara Saudi cuman sekitar 20 juta dengan sisanya adalah warga
asing. Jadi, 1 dari 3 penduduk di Saudi adalah warga asing. Dengan
jumlah penduduk asing yang demikian besar, toh tingkat pengangguran
warga negara Saudi sebesar 10,5 %. Jelas ini bisa menjadi api dalam
sekam, bibit-bibit keresahan yang bisa meledak seperti yang terjadi di
negara Arab lainnya. Kalau masih banyak warga sendiri menganggur, kenapa
terus-menerus mendatangkan tenaga kerja asing?
Oleh karena itu, pada bulan April 2011, pemerintah
Saudi memperkenalkan program Nitaqat. Program ini untuk mengevaluasi
perusahaan swasta agar tidak terlalu banyak mempekerjakan warga asing.
Banyak kriteria yang diperhitungkan, bergantung pada jenis industry dari
perusahaan, beberapa banyak total karyawan, job description, dsb. Salah
satu klausul dalam program Nitaqat berbunyi “perusahaan yang
mempekerjakan seorang wanita atau seorang cacat, dihitung setara dengan
mempekerjakan 4 pria Saudi”.
Pintu itu akhirnya terbuka lebar. Tanpa banyak
perdebatan berarti dari otoritas ulama, para wanita Saudi berlomba-lomba
masuk ke dalam bursa kerja. Perusahaan swasta berlomba-lomba merekrut
wanita Saudi sebagai pegawainya untuk memenuhi peraturan rasio Saudi-non
Saudi. Program Nitaqat yang diluncurkan pasca krisis Bahrain
perlahan-lahan merubah peta dunia kerja di Saudi.
Lingerie Shop |
Dan sejak Kamis kemarin pemerintah resmi menetapkan bahwa pelayan toko
lingerie wajib wanita Saudi. Jelas tidak ada yang lebih berbahagia
daripada para wanita sendiri. Sekarang wanita bisa berbelanja lingerie
tanpa perlu rikuh. Para wanita calon pembeli bisa meminta advis dari
pelayan toko untuk mendapatkan produk terbaik yang cocok dengan
kebutuhannya.
Tentunya tidak berlebihan jika saya menjuluki hal ini sebagai
Revolusi Lingerie dari Saudi….
Sumber:
http://www.kompasiana.com/TKI_Jeddah
No comments:
Post a Comment