Wednesday, January 18, 2012

Revolusi Lingerie dari Saudi

Banyak orang Indonesia sering bolak-balik umroh dan haji. Dengan pengalaman umroh dan haji, banyak yang menganggap sudah mengerti masyarakat Saudi. Padahal tidak banyak yang paham bagaimana sendi-sendi masyarakat Saudi berkembang dan bertransformasi dalam dekade terakhir. Kalau tidak menjadi penduduk di Saudi, mungkin tidak pernah membayangkan masalah ini.

Tidak banyak yang tahu, bahwa hari Kamis kemarin ada sebuah tonggak sejarah yang bisa dikategorikan sebagai revolusi di masyarakat Arab Saudi. Sebuah tonggak sejarah sebagai buah dari perdebatan panjang (konon selama 8 tahun) yang berakhir dengan manis. Semuanya pihak yang beradu opini akhirnya bisa sepakat, minimal saat ini. Padahal masalahnya sebenarnya sepele. Mungkin tidak akan pernah terpikirkan oleh masyarakat lain di dunia…, yaitu masalah pakaian dalam wanita (lingerie). Lho, apanya yang jadi masalah?

Saudi adalah negara berdasarkan syariah Islam. Setidaknya itulah yang tercantum di konstitusi negaranya. Tetapi karena masalah penafsiran, sudah lama para wanita dilarang berjualan di pasar. Pasar-pasar di kota besar, baik yang tradisional maupun mall, dikuasai oleh laki-laki sebagai penjaga tokonya. Praktis tidak ada wanita yang bekerja menjaga toko atau menjadi kasir.

Alasan utama melarang wanita berjualan di pasar adalah bercampurnya pria dan wanita di tempat umum. Ini memang mengundang perdebatan. Tapi begitulah otoritas ulama memberlakukan aturan. Mereka menganggap bahwa wanita tidak boleh bekerja sebagai pelayan toko karena akan memancing zina bila pembelinya laki-laki. Sayangnya tidak ada larangan bagi perempuan untuk membeli di toko yang pelayannya laki-laki. Memang tidak mungkin melarang perempuan berbelanja toh?

Lalu muncullah gugatan tsb. Para wanita Saudi mulai protest karena bahkan di toko pakaian dalam wanita pun, pelayan tokonya pria semua. Kampanye “enough embarrassment” (sudah cukuplah malunya) mempunyai argument yang jelas. Wanita mana yang tidak rikuh mencari bra dan CD yang sesuai ukuran tubuhnya jika harus bertanya pada laki-laki asing? Suami sendiri saja mungkin tidak tahu ukuran bra dan CD isterinya, apalagi laki-laki pelayan toko yang tidak dikenal. Pelayan toko juga rikuh. Kalau calon pembeli adalah perempuan berbaju ketat, mungkin sang pelayan toko masih bisa menebak ukuran bra dan CD-nya. Tapi kalau yang datang adalah perempuan berpakaian abaya longgar khas perempuan Arab, siapa yang bisa menebak ukuran pribadinya?

Praktis, toko-toko penjual lingerie hanya bisa mengandalkan merk besar untuk menjual dagangannya. Mereka tidak mungkin menampilkan iklan wanita hanya menggunakan pakaian dalam seperti di negara lain. Dan para pelayan toko yang seharusnya menjadi ujung tombak penjualan juga tidak bisa bertindak sebagai advisor atau konsultan bagi pembelinya. Para pelayan toko tidak lebih sebagai kasir yang menerima uang dan membungkus barang. Produk baru atau produk khusus (misalnya bra khusus untuk ibu menyusui), jelas tidak mungkin ditawarkan karena para penjual dan pembeli sama-sama rikuh.
Toh perdebatan itu tak kunjung usai.

Pertengahan tahun 2010, beberapa supermarket besar mencoba terobosan. Mereka mengijinkan beberapa wanita untuk menjadi kasir. Sasarannya jelas, mereka ingin agar para pembeli wanita lebih nyaman berbelanja di supermarket. Untuk hal itupun, jalur kasir dimodifikasi. Untuk kasir wanita, dibuatkan semacam box dangan iced glass sehingga tidak terbuka seperti jalur kasir supermarket secara umum.  Di dalam box tsb, pelayan pembungkus barangnya juga wanita. Jadi sang kasir dan pembantu pembungkus barang tidak sembarangan berinteraksi dengan rekan pria di jalur kasir yang lain. Hal ini untuk menangkis tudingan bahwa para wanita dan pria berkumpul di ruangan yang sama. Sudah tentu, pembeli yang mengantri di kasir wanita juga dibatasi, hanya untuk wanita.

13262787371724333869
Woman Cashier

Hanya dalam tempo sebulan, beberapa counter kasir wanita langsung menghilang. Tidak ada keterangan jelas, apakah karena ditekan oleh otoritas ulama atau karena sang kasir merasa malu mendapat cemoohan masyarakat. Jangan kaget, di masyarakat Saudi, pekerjaan kasir masih dianggap sebagai pekerjaan yang tidak layak dikerjakan oleh wanita. Tapi di hypermarket besar seperti Panda, beberapa kasir wanita masih bertahan walaupun jumlahnya berkurang.

Praktis, perjuangan beberapa wanita yang ingin berbelanja lingerie dengan dilayani oleh perempuan agak menyurut. Kasus kasir wanita bisa dianggap sebagai test-case yang kurang sukses.
Akhirnya datanglah faktor pemicu dari luar. Revolusi mengguncang dunia Arab di penghujung 2010 dan sepanjang 2011, dari Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Suriah dan pernah menyerempet Bahrain. Sedikit banyak Arab Saudi juga terimbas. Pemerintah mulai mencoba berkompromi dengan rakyatnya agar tidak terjadi pergolakan di Saudi. Salah satu yang dibenahi adalah masalah pengangguran yang diam-diam sangat kronis.

Ternyata pengangguran di Saudi diam-diam mencapai angka di atas 10,5% dengan sebagian besar adalah wanita. Oleh karena itu, tahun 2011 banyak diisi oleh program pemerintah Saudi untuk mengangkat taraf hidup rakyat Saudi dengan memperbanyak dan memperluas lapangan pekerjaan. Apa boleh buat, pemerintah Saudi harus menoleh kepada rakyatnya sendiri sebelum segalanya terlambat.
Data demografi penduduk Saudi memang agak unik. Hasil sensus tahun 2010, penduduk Saudi sekitar 27 juta jiwa. Uniknya, warga negara Saudi cuman sekitar 20 juta dengan sisanya adalah warga asing. Jadi, 1 dari 3 penduduk di Saudi adalah warga asing. Dengan jumlah penduduk asing yang demikian besar, toh tingkat pengangguran warga negara Saudi sebesar 10,5 %. Jelas ini bisa menjadi api dalam sekam, bibit-bibit keresahan yang bisa meledak seperti yang terjadi di negara Arab lainnya. Kalau masih banyak warga sendiri menganggur, kenapa terus-menerus mendatangkan tenaga kerja asing?

Oleh karena itu, pada bulan April 2011, pemerintah Saudi memperkenalkan program Nitaqat. Program ini untuk mengevaluasi perusahaan swasta agar tidak terlalu banyak mempekerjakan warga asing. Banyak kriteria yang diperhitungkan, bergantung pada jenis industry dari perusahaan, beberapa banyak total karyawan, job description, dsb. Salah satu klausul dalam program Nitaqat berbunyi “perusahaan yang mempekerjakan seorang wanita atau seorang cacat, dihitung setara dengan mempekerjakan 4 pria Saudi”.
Pintu itu akhirnya terbuka lebar. Tanpa banyak perdebatan berarti dari otoritas ulama, para wanita Saudi berlomba-lomba masuk ke dalam bursa kerja. Perusahaan swasta berlomba-lomba merekrut wanita Saudi sebagai pegawainya untuk memenuhi peraturan rasio Saudi-non Saudi. Program Nitaqat yang diluncurkan pasca krisis Bahrain perlahan-lahan merubah peta dunia kerja di Saudi.
1326279651390826429
Lingerie Shop

Dan sejak Kamis kemarin pemerintah resmi menetapkan bahwa pelayan toko lingerie wajib wanita Saudi.  Jelas tidak ada yang lebih berbahagia daripada para wanita sendiri. Sekarang wanita bisa berbelanja lingerie tanpa perlu rikuh. Para wanita calon pembeli bisa meminta advis dari pelayan toko untuk mendapatkan produk terbaik yang cocok dengan kebutuhannya.
Tentunya tidak berlebihan jika saya menjuluki hal ini sebagai  
Revolusi Lingerie dari Saudi….



Sumber:
http://www.kompasiana.com/TKI_Jeddah


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment