Sunday, January 8, 2012

Pengaruh Stigma Wahabi terhadap Pendidikan Islam di Aceh

Oleh : Khairil Miswar

MESKIPUN isu wahabi terkesan sudah usang namun kontroversi terhadap wahabi terus terjadi sampai hari ini.  Bagi kaum modernis wahabisme merupakan sebuah gerakan pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam sedangkan bagi kaum tradisional/konservatif wahabisme dianggap sebagai ajaran baru yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Terlepas dari kontroversi tersebut dalam tulisan singkat ini penuli akan mencoba mengulas kembali isu – isu seputar wahabisme dan pengaruhnya terhadap pendidikan Islam di Indonesia.
Mengenal Wahabi
Istilah wahabi merupakan istilah yang dinisbatkan kepada para pengikut dakwah Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahab meskipun para pengikut dakwah tauhid ini tidak pernah menamakan dirinya sebagai wahabi. Namun nama wahabi sengaja dihembuskan oleh orang – orang anti dakwah tauhid ebagai bentuk pelecehan terhadap dakwah Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahab. Gerakan dakwah yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahab merupakan lanjutan dari perjuangan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Inti dakwah mereka adalah mengajak manusia untuk kembali kepada Al –Quran dan Sunnah serta meninggalkan taqlid buta terhadap mazhab –mazhab fiqh yang telah membekukan potensi akal manusia pada saat itu.
Dalam perkembangan selanjutnya di Mesir juga muncul tokoh pembaharu seperti Syeikh Muhammad Abduh dan Syeikh Rasyid Ridha. Di Indonesia gerakan pembaharuan ini dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan (pendiri organisasi Muhammadiyah). Dibeberapa belahan dunia lain juga banyak bermunculan tokoh – tokoh pembaharu yang bertujuan memurnikan ajaran Islam dari praktek bid`ah, syirik dan khurafat. Yang sangat disayangkan adalah banyak kalangan, khususnya dari kalangan ulama tradisional menghembuskan klaim – klaim sesat terhadap para pembaharu.
Mereka menganggap dakwah yang dilakukan oleh Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahab adalah faham sesat dan tidak sesuai dengan prinsip ahlussunnah wal jama’ah. Namun sayang, klaim sesat yang mereka lontarkan terkadang tidak sanggup dibuktikan secara ilmiah. Akhirnya pertentanganpun terus terjadi sampai hari ini. Khususnya di Indonesia bahkan ada beberapa tokoh Islam konservatif yang sudah menyamakan wahabi dengan “teroris”.
Pengaruh terhadap Pendidikan Islam
Diakui ataupun tidak klaim – klaim sesat yang dihembuskan oleh kalangan konservatif terhadap tokoh – tokoh yang diberi stigma wahabi telah terbukti membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan pendidikan Islam. Khususnya di Aceh, tuduhan sesat terhadap wahabi masih terus terjadi sampai saat ini. Bahkan ada sebagian tokoh – tokoh agama di Aceh hususnya yang berasal dari kalangan pesantren/dayah yang tidak segan – segan mengkafirkan orang – orang yang dianggap sebagai wahabi. Penyesatan ini tidak saja dilakukan ditempat – tempat pengajian tetapi juga di forum – forum terbuka seperti khutbah Jum’at.
Pernah pada suatu ketika, beberapa murid di sekolah tempat penulis mengajar menjadi malas kesekolah karena menganggap pendidikan di sekolah adalah pendidikan wahabi. Penulis sempat berfikir, tidak mungkin anak kecil seperti dia mengenal istilah wahabi jika tidak ada orang yang mengajarkan padanya. Setelah penulis teliti rupanya beberapa murid tersebut pada sore hari juga belajar disebuah pesantren yang tidak seberapa jauh dari sekolah.
Di kesempatan lain penulis juga sempat terjebak perdebatan kecil dengan seorang guru pesantren (di Aceh dikenal dengan sebutan Teungku). Sebelum terjadi perdebatan kami sempat shalat bersama di sebuah mesjid di Bireuen, Aceh. Kebetulan teungku tersebut yang menjadi imam shalat. Selepas shalat, teungku tersebut memulai zikir bersama dan dilanjutkan dengan berdoa. Rupanya sambil berdoa teungku tersebut melirik kearah sebagian jamaah yang tidak ikut berzikir dan tidak mengangkat tangan sewaktu teungku tersebut memimpin doa. Waktu itu penulis yang duduk pas disamping imam juga tidak mengangkat tangan. Selepas berdoa teungku tersebut berkata kepada penulis; “Wahabi itu kafir dan bukan ahlusunnah masa berdoa saja tidak mau.”
Penulis hanya tersenyum sambil berkata kepada teungku tersebut; anda punya ilmu, saya dan mereka (yang tidak angkat tangan) juga punya ilmu sedikit yang mungkin berbeda dengan ilmu teungku.” Tapi apa jawabannya? “Pokoknya wahabi itu kafir,” sambung teungku tersebut. Melihat kondisi sudah kurang kondusif penulis pamit dan keluar dari mesjid, menurut penulis tidak ada gunanya melakukan debat kusir dengan teungku tersebut.
Pada suatu malam penulis sempat mengikuti pengajian di menasah (surau) di kampung penulis. Pada malam tersebut pengajian membahas tentang tata cara shalat. Sang teungku dengan semangatnya mengajarkan cara – cara shalat sampai pada bab meletak tangan sang teungku berkata; “Meletakkan tangan dalam shalat harus diatas pusar agak ke kiri, jangan letak diatas dada seperti orang kedinginan.”
Penulis menyanggah pendapat teungku tersebut degan mengatakan, “Saya pernah membaca di kitab sifat shalat Nabi bahwa meletak tangan di atas dada itu ada haditsnya dan shahih.” Teungku tersebut menjawab; “Itu kitab wahabi kamu baca, apa kamu tidak tau wahabi itu sesat?”.
Beberapa kasus yang pernah penulis temui tersebut setidaknya menjadi bukti kecil bahwa klaim – klaim sesat terhadap tokoh – tokoh pendidikan Islam yang terkena imbas tuduhan wahabi. Kita semua juga yakin bahwa kejadian – kejadian serupa juga terjadi didaerah lain. Pada majelis –majelis tertentu materi pendidikan Islam cuma terbatas pada pemikiran dan pendapat – pendapat tokoh pendidikan dari kalangan tradisional.
Selanjutnya, stigma-stigma yang kita bahas tadi jelas menyenangkan pihak-pihak tertentu agar umat Islam di Indonesia bisa saling tawuran dan tidak kuat satu sama lain. Tidakkah ini menjadi perhatian kita? Wallahul Musta’an.

Penulis adalah alumni IAIN Ar Raniry/ Peminat Kajian Sosial, Politik  dan Keagamaan
hidayatullah.com


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment