Inilah Anugrah Rabb Kami
Sebuah Fakta Sejarah Dinasti Sa’udi dari Risalah para Ulama dan Pemimpin Mukhlishin
Oleh Abu Asybal Usamah -Raji Afwa Rabbih-
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam, Yang mengatur siang dan malam, Membagi rezki diantara makhluk-Nya,
Yang Maha Adil lagi Maha bijaksana. Aku bersaksi tiada Ilah melainkan
Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan Utusan-Nya
yang telah menunaikan amanah, menyampaikan risalah, menasehati ummat dan
berjihad di jalan Rabb-Nya dengan sebenar-benarnya jihad serta
meninggalkan ummatnya diatas manhaj yang terangbenderang, tidak ada
seorangpun yang menyimpang darinya kecuali akan binasa.
Salawat dan salam senantiasa tercurahkan keharibaan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat dan orang-orang yang masih istiqomah di atas manhaj beliau.
Adalah merupakan anugrah Allah terbesar
seseorang disinari hatinya dengan cahaya tauhid, yang mengantarkan
mereka pada kebebasan dari segala bentuk penyembahan kepada penyembahan
kepada Rabb alam semesta. Maka tugas mulia para Rasul adalah menegakkan
Tauhid di muka bumi. Dan yang bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya
yang terbesar ini hanya sedikit. Namun senantiasa akan ada segolongan
dari ummat ini yang akan terus menyuarakan tauhid sebagai estafet dari
usaha para Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي
ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى
يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan senantiasa ada di antara kalian
ummatku, sekelompok orang yang tampil membela Al-Haq, tidak membahayakan
mereka orang yang menelantarkan (tidak menolong) mereka sehingga datang
ketetapan Allah, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian.” (H.R.
Muslim)
Maka, anugrah yang besar ini (tauhid)
akan senantiasa terpelihara dan disyukuri oleh orang-orang yang Allah
pilih untuk menjadi mulia. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-
adalah salah satu dari hamba Allah yang Ia pilih untuk mensyukuri
nikmat ini dengan gerakan pembaharuan beliau di Nejed dan jazirah Arab.
Namun, perjalanan dakwah dan jihad tidak mudah. Ia harus ditempuh dengan
kucuran keringat dan darah. Risalah yang kami hadirkan ini adalah
terjemahan dari kitab “ Tarikhu Nejed min khilal kitab Ad-Durar assaniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah” karya Syaikh Sulaiman bin Shalih Al-Khurasy.
Beliau memaparkan sejarah Dinasti Saudi
melalui rekaman risalah-risalah yang terdapat dalam kitab Ad-Durar
As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah.
Kitab tersebut adalah kumpulan risalah
Imam-imam Nejed dan juga pemimpin (amir) Dinasti Sa'udi yang disusun
oleh Imam Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim Al-‘Ashimy An-Najdy
Al-Hanbaly. Berikut kami suguhkan terjemahan bagian pertama dari kitab
Tarikhu Nejed yang berisi sejarah singkat Dinasti Sa’udi.
Sejarah Singkat Dinasti Saudi
Nejed adalah kehidupan yang terpisah
dari bencana yang menimpa dunia Islam, ia tidak pernah menyaksikan
pengaruh Utsmani secara langsung pada masa tersebut. Dan apa yang datang
dari para Imam Masjid yang menyanjung-nyanjung Sulthan Utsmani dalam
khuthbah, mungkin sebabnya adalah nurani baik kepada sang sulthan, atau
mungkin karena implikasi pemberdayaan para imam itu untuk menyampaikan
khuthbah, yang mana mereka orang yang menonjol di daerah yang tunduk
langsung terhadap pemerintah Utsmani. Nejed tak menyaksikan adanya
pengaruh yang kuat untuk merealisasikan kestabilan pilitik didalamnya
dari aaspek luar.
Maka, meskipun pengaruh para diktator
dari bani Khalid di sebagian aspeknya dan pengaruh dari Asyraf hijaz di
aspek lainnya, perang antara wilayah terus berlangsung dan juga konflik
antara suku (kabilah) yang beragam. Disamping itu, kondisi Nejed dari
segi agama sebelum dakwahnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-
amat buruk dan membutuhkan seorang mujaddid yang mengembalikan –dengan
karunia Allah- kebersihan tauhid dan kejernihan aqidah, dimana syirik
dan bid’ah telah merebak di masyarakat, ditengah-tengah diamnya
kebanyakan mereka yang memiliki ilmu syar’I, dan tidak adanya orang yang
mengingkari hal yang dapat mengahapus keislaman mereka. Namun hanya
diingkari dihati tanpa di-jahr-kan dengan dakwah.
Setelah beliau menuntut ilmu diluar
negri Nejed dan melihat apa yang terjadi pada dunia Islam dari
penyimpangan aqidah, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- (antara tahun 1133 -1139 H) dan sangat semangat untuk memulai mendakwahi kaum muslimin kepada Tauhid.
Beliau memulai dakwahnya di Huraimla’,
maka terbagilah kelompok pada saat itu menjadi golongan penentang -dan
pada saat itu mereka dominan- dan pendukung -mereka minoritas-. Pada
periode ini beliau mengarang kitabnya yang monumental “Kitabut Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal abid”.
Setelah ayah beliau wafat (tahun 1153 H), beliau pindah ke ‘Uyainah.
Dan hijrah beliau ini disambut oleh gubernur ‘Uyainah yaitu Utsman bin
Mu’ammar.
Maka beliau menjaharkan dakwah beliau ke
daerah-daerah yang lebih luas. Dan fase ini masuk pada aplikasi dakwah
yaitu mengingkari tempat-tempat ziarah (yang menjadi fenomena Ghuluw)
dan menegakkan hukum pidana secara syar’i. Dengan ekspansi dakwah yang
semakin meluas dan maju, maka ulama su’ dan pemimpin-pemimpin daerah
yang tidak jauh dari ‘Uyainah yang kemudian seruan untuk memusuhi dakwah
ini disambut oleh ulama su’ dan pemimpin-pemimpin yang berada diluar
Nejed.
......Disamping itu, kondisi Nejed dari segi agama sebelum dakwahnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- amat buruk dan membutuhkan seorang mujaddid yang mengembalikan –dengan karunia Allah- kebersihan tauhid dan kejernihan aqidah, dimana syirik dan bid’ah telah merebak di masyarakat, ditengah-tengah diamnya kebanyakan mereka yang memiliki ilmu syar’I, dan tidak adanya orang yang mengingkari hal yang dapat mengahapus keislaman mereka. Namun hanya diingkari dihati tanpa di-jahr-kan dengan dakwah........
Salah satu orang yang terpengaruh dan
menyambut seruan itu adalah Sulaiman bin Muhammad Alu Humaid, pimpinan
bani Khalid, hakim kota Ahsa’. Ia mengirim surat yang berisi ancaman dan
permintaan kepada gubernur ‘Uyainah Utsman bin Mu’ammar untuk mendepak
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka Syaikh keluar dalam kondisi
terpaksa menuju ke kota Dir’iyyah. Pemimpin kota ini adalah Amir
Muhammad bin Sa’ud -rahimahullah-. Beliau lah yang menyambut kedatangan
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab dan bersedia dengan ikhlas
mengikrarkan kesedian beliau untuk menolong dinullah.
Dinasti Saudi Periode Pertama
Dengan segala upaya kedua orang itu
(Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Imam Muhammad bin Sa’ud)
memperluas daerah dakwah dengan mengirimkan para da’I ke berbagai kota
Nejed dan lainnya serta menyngkirkan segela bentuk penghalang yang
merintangi jalan dakwah. Setelah 40 tahun semenjak dimulainya program
yang mulia yaitu menyuarakkan tauhid, maka embrio daulah islamiyyah
sa’udiyyah berhasil menyatukan Negri Nejed berada dibawah panji tauhid,
tunduk pada Syari’at Allah.
Ahsa menyusul masuk ke wilayah
Sau’diyyah tahun 1208 H kemudian Hijaz tahun 1218 H. Daulah Utsmani
senantiasa mengawasi wilayah-wilayahnya. Ketika ia menemukan kekuatan
Dinasti Sa’udi dan ancamannya terhadap kepentingannya, maka Basya
memerintahkan Baghdad agar bergerak untuk menyerang Dinasti Sa’udi. Maka
untuk urusan ini ditunjuklah pemimpin Kabilah Al-Muntafiq, Tsuaini bin
Abdullah, sebagai komandan. Tsuaini bergerak bersama pasukannya ke Ahsa.
Namun pasukan itu gagal dan Tsuaini terbunuh ditangan Tho’is.
Akibatnya, pasukan kembali ke Iraq tahun
1212 H. Hakim (pemimpin) Baghdad, Sulaiman Basya, menyiapkan pasukan
berikutnya dengan komando Ali Kekhea, maka mereka menyerang disebagian
sudut kota Ahsa. Namun lagi-lagi gagal, dan kembali ke Iraq tahun 1214
H. Kemudian serangan balik dilakukan pada tahun 1216 H. Komandan Sa’ud
bin Abdul Aziz (yang dijuluki Sa’ud Al-Kabir) -rahimahumallah- keberapa sudut kota Baghdad.
........kali ini Ibrahim Basya berhasil menorobos kota-kota Nejed hingga akhirnya mengepung ibukota Dinasti Sa’udi, Dir’iyyah, pada tahun 1233 H. kemudian Imam Abdullah menyerah serta berakhirlah Dinasti Sa’udi periode pertama.......
Karena serangan ini, maka berkorbarlah
dendam dihati syi’ah yang menjadi korban pada serangan itu. Pada tahun
1218 H, salah seorang syi’ah membunuh Imam Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin
Sa’ud -rahimahumallah- sebagai bentuk balas dendam. Untuk peta politik
selanjutnya, Daulah Utsmani menugaskan Wali Mesir (kalau dalam sistem
republic presiden) Muhammad ‘Ali Basya untuk menyerang Dinasti Sa’udi.
Pada tahun 1226 H Basya menyiapkan
pasukan dengan komando anaknya Thusun, yang menguasai Hijaz. Dalam
perannya, Thusun mengajak beberapa pemimpin Kabilah untuk kerjasama
dalam konspirasi ini. Pada tahun 1229 H Imam Sa’ud bin Abdul‘Aziz -rahimahumallah-
wafat yang digantikan oleh anaknya Abdullah bin Sa’ud yang kemudian
melakukan Shulh (perjanjian damai) dengan Thusun. Namun tidak berapa
lama perjanjian itu dibatalkan.
Episode selanjutnya Muhammad Basya
menyiapkan pasukan yang dipimpin oleh Ibrahim Basya untuk menyerang
dinasti Sa’udi pada tahun 1231 H. kali ini Ibrahim Basya berhasil
menorobos kota-kota Nejed hingga akhirnya mengepung ibukota Dinasti
Sa’udi, Dir’iyyah, pada tahun 1233 H. kemudian Imam Abdullah menyerah
serta berakhirlah Dinasti Sa’udi periode pertama.
Dinasti Sa’udi Periode Kedua
Setelah pasukan Ibrahim Basya mundur
dari Nejed, terjadilah kegunjangan politik dan ketidakstabilan keamanan
negara dengan banyaknya pertikaian. Maka Muhammad bin Misyari bin
Mu’ammar menyuarakkan ajakan kepada orang-orang untuk membaiat dirinya
pada tahun 1234 H. Saudara dari Abdullah bin Sa’ud, Misyari bin Sa’ud,
melarikan diri dari para penjaganya ditengah masa pengusirannya. Ia
bersama keluarganya kembali ke Nejed. Maka anaknya Mu’ammar menyerahkan
kekuasaan kepadanya.
Namun Ibnu Mu’ammar kembali untuk
mengambil kekuasaan. Setelah ia masuk Dir’iyyah ia menangkap Misyari
kemudian menguasai Riyadh. Konflik ini terus berlangsung. Turki bin
Abdullah bin Muhammad bin Sa’ud mengadakan pembalasan untuk Misyari dan
melengserkan ibnu Mu’ammar dari rezimnya. Pada akhirnya turki berhasil
merebut dan mengambil alih kekuasaan.
Hal ini tidak dibiarkan begitu saja.
Rival lama Dinasti Sa’udi dari Mesir, Muhammad Ali Basya, kembali
mengirimkan pasukan dibawah komando Husen Bek untuk melenyapkan Imam
Turki. Turki melarikan diri ke selatan Nejed. Setelah sebagian besar
pasukan Husen Bek ditarik dari dari Nejed, kondisi kembali tidak stabil.
Pada tahun 1239 H Imam Turki kembali untuk mengambil kekuasaan setelah
melakukan pertempuran dengan sisa pasukan yang belium kembali ke Mesir
serta mengadakan perjanjian damai dengan pasukan tersebut.
Pada tahun 1241 H Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul wahhab -rahimahumullah-
dating dari Mesir ke Riyadh dan menggantikan posisi kakek beliau
(syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab). Dan pada tahun itu 1249 H Misyari
bin Abdurrahman Alu Sa’ud membunuh Imam Turki bin Abdullah. Imam Faishal
bin Turki yang berada di Ahsa menghimpun kekuatan untuk merebut
kekuasaan dari Misyari. Muhammad ‘Ali Basya kembali menyiapkan pasukan
dibawah komando Isma’il Bek dan menjadikan Khalib bin Sa’ud sebagai
ajudannya (saudara dari Abdullah bin Sa’ud, pemimpin terakhir Dinasti
Sa’udi Periode kedua).
Muhammad Ali Basya juga memberikan
dukungan pasukan tambahan untuk mereka berdua dengan batalion dibawah
pimpinan Khorsyad Basya. Kali ini Isma’il dan Khalid mampu menguasai
Riyadh (1253 H).. Pada tahun itu pula Imam Faishal bin Turki -rahimahullah- menyerah dan dibawah ke Mesir.
Setelah pasukan Khorsyad Basya ditarik
lagi kembali ke Mesir dan Khalid bin Sa’ud memimpin Riyadh, kemudian
terjadilah kudeta yang dilakukan oleh Abdullah bin Tsaniyan Alu Sa’ud
melawan Khalid. Pada Tahun 1259 H Imam Faishal bin Turki bebas dari
pejara di Mesir. Ia tampil kembali untuk merebut dan menjadi pemimpin
Riyadh. Ia menjadi penguasa Riyadh untuk kedua kalinya selama 23 tahun
hingga ia wafat tahun 1282 H. Imam Faishal -rahimahullah- memiliki empat anak yaitu Abdullah, Sa’ud, Abdurrahman dan Faishal.
Setelah Wafat, Imam faishal digantikan
oleh anaknya Abdullah yang kemudian diikuti dengan pembaiatan beliau.
Setelah berjalan setahun memegang tampuk kekuasaan, ternyata saudaranya
Sa’ud tidak terima, ia ingin menjadi penguasa. Meskipun Sa’ud sudah
dinasehati oleh Ulama untuk tidak melukar bai’at, tapi ia tetap menolak
dan melakukan kudeta terhadap saudaranya, Abdullah. Penjelasannya akan
diterangkan dalam buku ini -insyaallah-.
Pada masa itu terbilang terjadi konflik
intern atau fitnah yang hebat menerpa negri Nejed. Ketika Sa’ud mampu
melengserkan saudaranya, maka ulama pada saat itu membaiat Sa’ud. Namun,
Abdullah pergi mengusung kekuatan dengan meminta bantua kepada
orang-orang Turki.
Bak gayung bersambut, hal ini merupakan
kesempatan bagi bangsa Turki untuk mengembalikan kekuasaan mereka di
Ahsa. Setelah Sa’ud bin Faishal wafat dan tampuk kekuasaan berpindah
kepaada saudaranya Abdurrahman bin Faishal -rahimahullah-.
Namun, pada tahun 1293 H beliau menyerahkan (tanazul) kekuasaanya kepada
saudaranya Abdullah, setelah bermusyawarah dengan para ulama dalam hal
ini.
Ditengah-tengah rezim Abdullah terjadi
pemberontakan yang dilakukan oleh keponakan-keponakannya sendiri dari
anak saudaranya Sa’ud bin Faishal kemudian mereka memenjarakan paman
mereka Abduillah. Kondisi ini dimanfa’atkan oleh Muhammad bin Abdullah
bin Rasyid. Ia dating ke Riyadh kemudian menyapu menyingkirkan keponakan
Abdullah dari kekuasaan. Ibnu Rasyid akhirnya mampu merebut Riyadh dan
membunuh 3 diantara anak Sa’ud bin Faishal. Ibnu Rasyid juga membawa
Abdullah bin Faishal dan saudaranya Abdurrahman ke Hail. Dan dengan
begitu Dinasti Saudi periode kedua telah berakhir.
Dinasti Saudi Periode Ketiga
Sebelum deklarasi Dinasti periode
ketiga, Imam Abdurrahman bin Faishal -rahimahullah- berusaha untuk
mengembalikan kekuasaan ketangan keluarga Sa’ud, namun terus gagal. Maka
ia bersama anaknya Abdul ‘Aziz hijrah ke Kuwait. Pada akhirnya, tahun
1319 H Raja Abdul ‘Aziz mampu mengembalikan ke pangkuan keluarga Sa’ud
menjadi ibukota Dinasti Sa’udi periode ketiga.
Wa Shallihumma 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi ajm'in , wa akhiru da'wana anil Hamdu LIllahi Rabbil 'Alamin
voa-islam.com
No comments:
Post a Comment