Wednesday, January 25, 2012

Tanggapan terhadap buku: SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI


SEJARAH PENGHINAAN YANG BERTUBI-TUBI
SEMUANYA MEREKA HINA TERMASUK PARA NABI
Tanggapan terhadap buku:
SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI

Sebagai Tanggapan dan Kritikan buat:
Bapak Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj MA. dan Idahram.
Dari Abul ‘Abbas Khidhir Al-Mulki –semoga Allah menjaganya-.

PENGHINAAN KEPADA RASULULLAH
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه.
أما بعد:
Allah Ta’ala memerintahkan umat manusia untuk memuliakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beradab kepadanya, walaupun hanya masalah bertutur kata, bila seseorang dibacakan kepadanya hadits-hadits nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka dia tidak akan menentang hadits-hadits tersebut, bila dia memiliki pendapat maka ketika dibacakan hadits-hadits nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka diapun tidak berani mengangkat suaranya melebihi suara orang-orang yang membacakan hadits-hadits nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut, karena Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Hujarat ayat 2 sampai 3:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (2) إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (3) }
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian melebihi suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalan kalian, sedangkan kalian tidak menyadari. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Penghinaan Secara Tidak Disadari
            Pada sampul buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” [untuk selanjutnya disingkat “SEBAL”] tertulis: “Sebuah buku yang secara ilmiah menguak kebenaran ramalan Rasulullah Saw”     
            Tanggapan:
            Pada sub bahasan ini ada dua poin yang perlu ditanggapi:
Pertama: ramalan
Kedua: Saw.

Tanggapan pada poin pertama
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah makhluk yang paling mulia, Allah Ta’ala memberinya keutamaan yang tidak diberikan kepada selainnya. Allah Ta’ala mengangkat derajatnya menjadi seorang nabi dan rasul dan menyampaikan wahyu kepadanya melalui perantara malaikat Jibril ‘Alaihis Salam. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan menuturkan kata-kata melainkan sesuai dengan yang diwahyukan kepadanya, sebagai perkataan Allah Ta’ala dalam surat An-Najm ayat 3 sampai 4:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4).
“Dan tidaklah beliau berucap menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Setelah jelas bagi kita bahwa setiap apa yang diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah wahyu maka apakah pantas kalau kemudian kita mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan ramalan? Ketahuilah ini termasuk salah satu dari bentuk nyata perendahan dan penghinaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena ramalan itu merupakan jurus yang digunakan oleh para dukun, maka apakah pantas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disamakan dengan para dukun yang suka meramal?
Ketahuilah –semoga Allah memberikan hidayah kepada kalian- bahwa para dukun ramalannya terkadang benar dan terkadang salah, maka kalau istilah “menguak kebenaran ramalan itu cocoknya hanya kepada para dukun, adapun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka tidak ada lagi keraguan atas setiap apa yang beliau katakan.   
Adapun ramalan yang dipraktekan oleh para dukun maka sangat kecil kemungkinan benarnya, bahkan ramalan-ramalannya tersebut kesalahan yang paling mendominasinya, karena hasil ramalan mereka didapat dari bantuan para syaithan yang para syaithan mencurinya dari langit, kemudian disampaikan kepada para dukun dengan dicampur seratus kedustaan sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam katakan:
فيكذبون معها مائة كذبة
“Yang mereka membuat kedustaan pada berita tersebut dengan seratus kedustaan”. [HR. Al-Buhkari (no. 3210) dan Muslim (no. 122-(2228)].
Perbedaannya: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendapatkan wahyu langsung dari Allah dan semuanya benar, tidak membutuhkan lagi adanya istilah “menguak kebenaran”, adapun para dukun mendapatkan bisikan-bisikan dari syaithan yang dinamai dengan ramalan yang kedustaan mendominasinya.
Dari penjelasan tersebut nyatalah kalau mereka (penerbit buku “SEBAL” dan penulisnya) telah terjatuh pada penghinaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kalau kemudian ada yang berkata: Ungkapan ramalan itu hanya sekedar ungkapan kebiasannya orang-orang maka tidak bisa dikatakan itu sebagai ungkapan penghinaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?. Atau kalau ada yang berkata: Itu tidak dimaksudkan untuk menghina Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (unsur ketidaksengajaan)!. Maka kami katakan: Orang-orang arab perkampungan (arab badui) mereka juga memiliki kebiasan yang sering mereka lakukan, mengangkat suara tinggi dikalangan mereka adalah biasa, namun ketika mereka meninggikan suara di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak memberi toleransi seperti apa yang dikatakan, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Hujaran ayat 2 sampai 5:
 {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (2) إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (3) {إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (4) {وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)}.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian melebihi suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus amalan (kebaikan) kalian, sedangkan kalian tidak menyadari. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak berakal, dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah adalah Al-Ghafur (Maha Pengampun) lagi Ar-Rahim (Maha Penyayang)”.
                Dari ayat tersebut sangat jelas yang meninggikan suara kebanyakannya adalah orang-orang yang tidak berakal, namun apakah Allah Ta’ala memberikan toleransi dan kebebasan kepada mereka? Wallahi tidak! Bahkan Allah Ta’ala melarang mereka untuk mengangkat suara mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam supaya amalan kebaikan mereka tidak terhapus, bila mereka tidak menyadari kalau kebiasaan mereka itu adalah suatu kesalahan maka tentu resikonya amalan-amalan shalih mereka yang pernah mereka kerjakan akan terhapus. Maka tidakkah ada yang mau mengambil pelajaran?!.
Adapun perkataan: Itu tidak dimaksudkan untuk menghina Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka ketahuilah bahwa orang-orang munafiqpun bisa membuat alasan seperti itu, Allah Ta’ala berkata tentang perbuatan mereka sebagaimana dalam surat At-Taubah ayat 65 sampai 66:
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ }
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka katakan itu), tentulah mereka akan manjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian akan memperolok-olok?, tidak perlu kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman”.
            Karena mereka menghina Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memberikan toleransi dan alasan bagi mereka, sebagaimana kisahnya dalam tafsir Ibnu Katsir (Juz 4/hal. 171): “Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata: Berkata seseorang pada perang Tabuk di suatu masjid: “Tidaklah aku melihat seperti juru baca kita itu, yang paling besar perutnya, paling pendusta lisannya, dan paling penakut ketika berjumpa musuh!. Maka berkata seseorang dalam dalam masjid tersebut: Kamu telah berdusta, kamu ini adalah munafiq, sungguh aku akan mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu orang tersebut menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka turunlah Al-Qur’an. Berkata Abdullah bin Umar: Aku melihat orang yang menghina Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut bergantung di kendaraan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hingga tertabrak ke batu-batu, sambil berkata: Wahai Rasulullah! Hanyasaja kami tadi bersenda gurau dan bermain-main saja! Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ }
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian akan memperolok-olok?, tidak perlu kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman”.
Betapa malang nasib orang munafiq tersebut, mengejar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengemukakan alasannya, sampai badannya berbenturan dengan batu-batu, namun alasannya tidak diterima. Maka apa alasan dari penerbit buku “SEBAL” begitu pula apa alasan penulisnya ketika kami paparkan permasalah ini?.
Insan yang memiliki akal dan pandangan yang sehat lagi tajam, begitu pula insan terpelajar dan insan akademik tentu tidak akan tergesa-gesa menyambut, menerima dan membenarkan buku “SEBAL” itu, tetapi dia akan berpikir terlebih dahulu, karena orang yang tertinggi seperti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja sudah dihina lalau bagaimana kiranya dengan orang-orang yang rendah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam semisal para pengikut setianya dari umat ini? Maka tentu hinaan dan kedustaan kepada mereka tentu lebih dahsyat dan berlebih-lebihan –hanya kepada Allah kami memohon perlindungan-.

Tanggapan pada poin Kedua
Pada kesempatan ini kami ingin memperingatkan penerbit buku, penulis (Idahram) dan Prof.Dr. KH. Said Aqil Siraj, MA., selaku pemberi kata pengantar pada tulisan “SEBAL” dan siapa saja yang memiliki sikap sama dengannya untuk berhati-hati berbicara tentang pembawa syariat nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kami melihat bahwa pak prof telah terjerumus ke dalam penghinaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara tidak disadari. Ketahuilah bahwa penulisan setelah nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan singkatan (saw) itu adalah suatu kebatilan dan kesalahan yang sangat fatal, kalau para pembaca membacanya secara langsung (Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) itu yang diharapkan, tapi kalau mereka membacanya seperti yang tersingkat maka inilah bentuk nyata penghinaan itu. Orang-orang yang rajin melaksakan shalat berjama’ah di masjid tentu sering mendengar himbauan imam shalat sebelum memulai takbiratul ihram: Saw, saw, saw sufufakum[1]…..Luruskanlah kalian, luruskanlah kalian, luruskanlah kalian, shaf-shaf kalian!“. Bila maksud dan tujuan imam shalat kalian mengetahuinya maka cobalah pikirkan bagaimana kalau setelah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditambah dengan kalimat saw, maka apakah pantas?.
Setiap orang yang mengaku muslim tentu sudah mengenal shalawat, namun untuk mengamalkan bagaimana shalawat yang benar maka masih perlu dipertanyakan? Allah Ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat kepada nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan bentuk shalawat yang paling bagus dan sangat jelas, setelah Allah Ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat mereka memerintahkan kaum mukminin untuk bershalawat kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan perintah tersebut di dalam Al-Qur’an pada surat Al-Ahzab ayat 56:
{إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا }
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.
Coba perhatikan ayat tersebut sangat jelas adanya perintah untuk bershalawat kepada nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam dan adanya pula perintah untuk mengucapkan salam penghormatan kepadanya, maka apakah pantas hanya dengan mengucapkan saw?.
Kalau ada tamu datang disuatu rumah dan kamu sebagai penghuni rumah, kemudian tamu tersebut mengetuk pintu sambil mengucapkan salam dengan singatan “aww, aww, aww” maka kamu akan bersenang hati dengannya? Atau ketika kamu berjumpa dengan orang yang kamu anggap sebagai kawanmu namun kemudian dia ketika menjumpaimu mengucapkan salam “aww” maka tentu kamu akan merasa bahwa itu adalah penghinaan kepadamu, maka berpikirlah wahai orang-orang yang berakal!.
Di dalam kitab-kitab mazhab syafi’iyyah selama kami membaca atau mempelajarinya bersama beberapa masyayikh kami, belum pernah kami dapatkan ada fatwa dari imam-imam mazhab syafi’iyyah mengatakan bahwa meringkas shalawat untuk nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti itu hukumnya boleh!, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan bimbingan yang sangat jelas tentang tata cara bershalawat, di dalam “Shahih Al-Bukhari” (no. 4797) dan “Shahih Muslim” (no. 935) dari hadits Ka’ab bin ‘Ujrah –semoga Allah meridhainya-, beliau berkata: “Ya Rasulullah adapun salam kepadamu sungguh telah kami tahu, maka bagaimana bershalawat kepadamu? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Katakanlah kalian:
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد.
                 Kalaupun seandainya ada dari imam-imam mazhab syafi’iyyah yang membolehkan meringkas shalawat menjadi “saw maka tentu kita tidak diperkenankan untuk mengambil pendapat tersebut, yang lebih berhak dan wajib kita ambil adalah perkataan Allah Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Hasyr ayat 7:
{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
“Dan apa yang didatangkan oleh rasul kepada kalian maka terimalah. dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya”.

Penghinaan Secara Disadari
Berkata Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj MA dalam pengantarnya terhadap buku “SEBAL” (hal. 9): “Islam merupakan agama peradaban yang membawa rahmat bagi semesta alam, bukan agama teroris.
Apa yang dikatakan memang benar, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Anbiya’ ayat 107:
{وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ}.
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan sebagai rahmat untuk semesta alam”. Keberadaan beliau di tengah-tengah umat sebagai rahmat untuk semesta alam adalah perkara yang sangat disambut oleh orang-orang yang masih memiliki akal pikiran namun bagi orang yang suka menghina maka mereka tidak peduli dengan keberaadan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan. Bahkan mereka menampakan kata-kata, membuat istilah-istilah dan gelar-gelar kepada Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sesuatu yang sangat jelas sebagai upaya penghinaan dan penjatuhan martabat dan derajat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun bagi orang yang masih muslim, masih memiliki iman dan masih memiliki kecintaan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak akan diam, bahkan mereka akan bangkit untuk membelanya dengan membacakan ayat-ayat Allah Ta’ala dan sunnah-sunnah Nabi-Nya.

Berikut ini diantara beberapa penghinaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam semasa beliau masih hidup:
  • Penghinaan Abu Lahab
Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baru memulai dakwah kepada tauhid, memulain dengan menyeru kerabat-kerabatnya maka bangkitlah seseorang menampakan penghinaan yang nyata, yang dia adalah pamannya sendiri, Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan di dalam “Shahih“nya (no. 1494) dari Abdullah bin Abbas, beliau berkata: “Abu Lahab –semoga Allah melaknatnya- berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Kebinasaan bagimu”, maka turunlah perkatan Allah Ta’ala pada surat Al-Masad ayat 1 sampai 5:
{تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5) }.
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut”.
Tentu bagi orang yang memiliki akal pikiran akan bertanya-tanya: Apa yang menyebabkan Abu Lahab mencela dan menghina keponakannya? Abu Lahab dan kaum musyrikin Quraisy melakukan penghinaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyeru mereka untuk merealisasikan tauhid ibadah (tauhid uluhiyyah). Allah Ta’ala sebutkan tentang ejekan dan penghinaan mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam surat Shaad ayat 5 sampai 7:
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ (5) وَانْطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَى آَلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ (6) مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآَخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ (7).
“Mengapa dia menjadikan sembahan-sesembahan itu Ilah yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata):”Pergilah kalian dan tetaplah (menyembah) sesembahan-sesemabahan kalian, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan”.
Jangan kita mengira bahwa kaum musyrikin Quraisy itu tidak bertauhid! Justru mereka itu bertauhid, namun tauhid mereka hanya sebatas tauhid rububiyyah, Allah Ta’ala jelaskan tentang tauhid mereka sebagaimana dalam surat Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Ankabut ayat 61:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ.
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka mengapa mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”.
Tidak hanya itu, bahkan mereka menetapkan nama Allah, sebagaimana kisahnya terdapat dalam “Shahih Muslim” (no. 4732) ketika terjadi perjanjian damai antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh penulisnya:
«اكْتُبْ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ».
“Tulislah dengan nama Allah yang Ar-Rahman (Maha Pengasih) lagi Ar-Rahiim (Maha Penyayang)”. Berkata Suhail (salah seorang tokoh musyrikin: “Adapun tentang nama Allah maka tidaklah kami mengetahui apa “Dengan nama Allah yang Ar-Rahman (Maha Pengasih) lagi Ar-Rahiim (Maha Penyayang)” akan tetapi tulislah apa-apa yang kami ketahui: “Dengan nama Allah”.
Namun kesesatan mereka telah nyata yaitu menjadikan Allah tandingan-tandingan dalam beribadah, mereka menjadikan latta dan uzza sebagai perantara ibadah mereka kepada Allah Ta’ala, mereka meminta kepada orang-orang shalih yang sudah meninggal dunia. Mereka tampak benar-benar merealisasikan tauhid ibadah (tauhid uluhiyyah) ketika petaka sudah di depan mata, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Ankabut ayat 65:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)”.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat keadaan kaum musyrikin perbuataannya seperti itu, beliau mulai menyeru mereka untuk benar-benar meralisasikan tauhid, disaat lapang maupun sempit, namun apa tanggapan kaum musyrikin? Mereka malah menuduhnya dengan tuduhan dusta, beliau dituduh sebagai tukang sihir, pengacau (teroris), pemecah belah persatuan dan tuduhan-tuduhan dusta lainnya, karena mereka gagal dalam menjalankan makarnya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya merekapun menampakan kekerasaan dan teror, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah hijrah di Madinah dan kaum muslimin sudah memiliki kekuatan maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengumumkan perlawan (jihad) terhadap orang-orang musyrik, perlawanan tersebut akan berhenti bila kaum musyrikin merealisasikan konsekwensi dari tauhid yaitu benar-benar memurnikan agama (ibadah) hanya kepada Allah Ta’ala, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Anfal ayat 39:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ.
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kesyirikan), maka sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan”.
Di dalam “Shahih Al-Bukhari” (no, 25) dari Abdullah bin Umar, dan “Shahih Muslim” (no. 135) dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
« أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَيُؤْمِنُوا بِى وَبِمَا جِئْتُ بِهِ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ ».
“Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi “Bahwa tidak ada Ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah, mereka beriman kepadaku dan apa-apa yang aku datang dengannya, jika mereka melaksanakan yang demikian itu maka mereka mendapatkan jaminan (kemanaan) dariku pada darah-darah dan harta-harta mereka kecuali pada haknya, dan perhitungannya atas Allah”.

  • Penghinaan Dzul Khuwaisirah
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih di Makkah (sebelum hijrah ke Madinah) beliau mendapatkan banyak penghinaan dari oarng-orang musyrik, beliau dituduh sebagai tukang ramal, tukang sihir dan gila, hal ini sebagaimana Allah Ta’ala katakan dalam surat Shad ayat 4:
وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ.
“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (Rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta”.
Allah Ta’ala berkata dalam surat Adz-Dzariyat ayat 52:
كَذَلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ.
“Demikianlah tidak seorang Rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila”.
Setalah beliau hijrah ke Madinah ternyata muncul penghinaan dari seseorang yang mengaku beragama Islam, dia ikut menyusup dalam barisan kaum muslimin, kemudian Allah Ta’ala menampakan keadaannya secara jelas sehingga manusia mengetahui keadaan yang sebenarnya, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membagikan harta rampasan perang, maka tiba-tiba datang Dzul Khuwaisirah dia adalah seseorang dari Bani Tamim, lalu berkata: “Berbuat adillah ya Muhammad, karena kamu belum berbuat adil!”. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ بَعْدِي إِذَا لَمْ أَعْدِلْ
“Celaka kam, siapa yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?!” Berkata Umara: Biarkan aku wahai Rasulullah untuk memenggal lehernya, ini adalah munafiq. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Biarkan”, ketika Dzul Khuwaisirah berpaling Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati tenggorokannya, mereka keluar dari agama Islam ini bagaikan anak panah yang tembus keluar dari binatang buruannya. Mereka memerangi orang-orang Islam dan membiarkan penyembah berhala”. [HR. Al-Bukhari (no. 3414) dari Abu Said, Muslim (no. 2496), Ibnu Majah (no. 172) dari Jabir bin Abdillah].
Dari hadits tersebut dapat diperik faedah diantaranya:
  1. Hukum Mencela Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
            Al-Imam An-Nawawi –semoga Allah merahmatinya- menukil perkataan Qadhi ‘Iyadh: Hukum syar’i bahwa siapa yang mencela nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah kafir dan dibunuh. Dan pada hadits tersebut tidak disebutkan bahwa Dzul Khuwaisirah dibunuh. [“Syarhu Shahih Muslim” karya Al-Imam An-Nawawi (Juz 4/hal. 388)].
Di dalam “Shahih Al-Bukhari” (no. 6531) dan “Shahih Muslim” dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika menjelaskan tentang orang-orang yang memiliki keterkaitan dengan Dzul Khuwaisirah beliau memerintahkan dengan hukuman bunuh, beliau berkata:
«سَيَخْرُجُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِى قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ».
“Akan muncul di akhir zaman suatu kaum yang ahdatsul asnaan, sufaha’ul ahlam, mereka berucap dengan perkataannya khairul bariyyah (hadits), mereka membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya (tembus). Jika kalian menjumpai mereka maka bunuhlah, karena sesungguhnya membunuh mereka itu ada pahalanya di sisi Allah pada hari kiamat”.

  1. 2.      Ciri-ciri dari Orang-orang yang Memiliki Keterkaitan Pemikiran dengan Dzul Khuwaisirah
-          Mereka sangat kuat dalam beribadah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepada para shahabatnya bahwa para shahabatnya akan merasa minder dengan ibadah mereka seperti shalat, puasa dan membaca Al-Qur’an [Lihat “Syarhu Shahih Muslim” karya Al-Imam An-Nawawi (Juz. 4/hal. 394)].
Di zaman ini kita dapatkan dengan mudah orang-orang yang telah Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam sifatkan, ada dari mereka yang melakukan puasa bid’ah dengan waktu yang cukup panjang, ada dari mereka yang shalat lail berpuluh-puluh rakaat, ada dari mereka membaca Al-Qur’an dalam sehari mereka bisa mengkhatamkannya, dari mereka ada yang berdzikir ribuan kali dalam sehari, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disampaikan tentang orang-orang yang beramal seperti mereka itu maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى».
“Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukanlah dari (golongan)ku”. [HR. Al-Bukhari (no. 4776) dan Muslim (no. 3469) dari hadits Anas bin Malik].

-            Mereka kulitnya hitam, pada telapak tangan atau lengan atau pundak mereka seperti puting yang ada pada buah dada wanita atau seperti potongan daging.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
آيَتُهُمْ رَجُلٌ أَسْوَدُ إِحْدَى عَضُدَيْهِ مِثْلُ ثَدْىِ الْمَرْأَةِ أَوْ مِثْلُ الْبَضْعَةِ تَدَرْدَرُ
“Ciri-ciri mereka adalah orang yang hitam, salah satu dari lengannya seperti puting (yang ada pada buah dada wanita) atau seperti potongan dari daging”. [Lihat “Syarhu Shahih Muslim” karya Al-Imam An-Nawawi (Juz. 4/hal. 394)].
Adapun yang dikatakan oleh pak Prof pada pengantarnya terhadap buku “SEBAL” (hal. 13): “Imam Nawawi menjelaskan bahwa Dzul Khuwaisirah adalah sosok yang berjidat hitam, kepalanya botak tidak berambut, tinggi gamisnya setengah kaki dan jenggotnya panjang”.
Kami sudah mencoba membuka-buka lembaran demi lembaran pada “Syarhu Shahih Muslim” untuk mencari ciri-ciri yang disebutkan oleh pak Prof namun kami tidak dapatkan seperti yang dikatakan. Kalau penyebutan ciri-ciri tersebut dari pak Prof yang kemudian dia sandarkan kepada Al-Imam An-Nawawi maka itu merupakan kedustaan dan kezhaliman yang nyata, bila benar pak Prof berkhianat dalam masalah ini maka kami semakin khawatir kalau pak Prof jangan-jangan sudah termasuk dalam ciri-ciri yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jadi pak Prof berusaha untuk memalingkan perhatian manusia jangan sampai diketahui keadannya!, kalaupun benar tentang ciri-ciri yang disebutkan oleh pak Prof itu benar seperti yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi maka ketahuilah bahwa ciri-ciri tersebut tidak bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencela, menghina dan memojokan ahlussunnah karena ada dari ciri-ciri tersebut sudah merupakan sunnah nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti celana atau gamis di atas mata kaki –Alhamdulillah telah ada pembahasan tentang masalah ini dalam tulisan kami ini-. Kemudian  dari pada itu ketahuilah bahwa Al-Imam An-Nawawi telah menjelaskan ciri-ciri yang lain sebagaimana dalam “Syarhu Shahih Muslim” (Juz 4/hal. 395):
ومعلوم أن هذا ليس بحرام      

“Dan telah dimaklumi bahwa cirri-ciri ini tidaklah haram”. Adapun tentang mencukur rambut (botak) maka Al-Imam An-Nawawi telah menjelaskannya pula, beliau berkata dalam“Syarhu Shahih Muslim” (Juz 4/hal. 395):
قال أصحابنا حلق الرأس جائز.
“Berkata Ashhabuna (orang-orang dari mazhab Syafi’i): Mencukur rambut kepala adalah boleh “.

-          Menuduh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai orang yang tidak memiliki keadilan.                       
Dari pemaparan tersebut maka orang-orang yang berakal tinggal menilai: Penghinaan manakah yang lebih kurang ajar; Menuduh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai tukang ramal atau mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak bisa berbuat adil?!. Lebih anehnya lagi pada pengantar buku “SEBAL” (hal. 12) pak Prof berkata: “Predeksi Rasulullah terbutki pada Ahad pagi….”.
Perkataannya “Predeksi” tidak jauh bedanya dengan ungkapan “ramalan” sudah lewat pembahasannya [silahkan merujuk kembali kepembahasannya]. Dari ungkapan tersebut tampak kebodohan pak Prof, sungguh memalukan sudah bertitel panjang namun tidak bisa membedakan antara sesuatu kepastian dengan sesuatu perkiraan, ini merupakan suatu permasalahan yang sedang dihadapi oleh pak Prof, ketahuilah bahwa masalah merupakan suatu kesenjangan antara harapan dan kenyaatan. Pak Prof mungkin mengira bahwa harapannya dalam memberi pengantar pada tulisan “SEBAL” akan sesuai dengan kenyataan yang ada, perlu pak Prof mengaji dan melalukan peninjauan sehingga tidak lagi ada suatu kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan.
Pak Prof dan orang-orang yang memiliki kemiripan dengan pak Prof harus tahu memahami perbedaan antara predeksi dengan suatu kepastian, harus pula memilah mana yang masuk dalam kategori ramalan dan mana yang masuk kepastian? Apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beritakan maka itu pasti akan terbukti, sekadar contoh perberitaan beliau: “Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati tenggorokannya, mereka keluar dari agama Islam ini bagaikan anak panah yang tembus keluar dari binatang buruannya”.
Dan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut telah terbukti dan akan terbukti pula, setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, mereka mulai menampakan diri, mereka adalah orang-orang yang kuat dalam beribadah dan mereka tidak merasa cukup dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, pada akhirnya mereka membuat bid’ah dalam Islam yaitu dzikir jama’ah, setelah itu mereka bersatu dengan khawarij dalam memerangi kaum muslimin, hal ini sebagaimana pernah terjadi dan disebutkan dalam “Sunan Ad-Darimi” dengan sanad hasan. Al-Imam Ad-Darimi –semoga Allah merahmatinya- berkata: Telah mengabari kami Al-Hakam bin Mubarak beliau berkata: Telah mengabari kami ‘Amr bin Yahya, beliau berkata: Aku mendengar bapakku menceritakan dari bapaknya, dia berkata: Kami duduk di samping pintu Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat zhuhur, tiba-tiba beliau keluar, kamipun berjalan bersamanya ke masjid, maka datanglah kepada kami Abu Musa Al-Asy’ari lalu berkata: Apakah keluar kepada kalian Abu Abdirrahman, kami mengatakan: Tidak, diapun duduk bersama kami hingga beliau keluar, setelah keluar kami semua berdiri menghadapnya, lalu Abu Musa berkata: Ya Aba Abdirrahman sesungguhnya aku melihat di dalam masjid suatu kaum mereka duduk dalam suatu halaqah sambil menggu waktu shalat, pada setiap halaqah ada seseorang yang memandu dzikir dan di tangan-tangan mereka ada kerikil, pemandu dzikir mengatakan: “Bertakbirlah kalian seratus seratus kali, merekapun bertakbir seratus kali. Kemudian pemandu mengatakan: bertahlillah seratus kali merekapun bertahlil seratus kali. Pemandu dzikir berkata lagi: “Bertasbilah kalian seratus kali merekapun bertasbih seratus kali”. Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa kemudian mendatangi halaqah tersebut, Abdullah bin Mas’ud berkata: Apa yang kalian lakukan dengan krikil ini? Mereka berkata: Ya Aba Abdillah kami menggunakannya untuk menghitung-hitung takbir, tahlil dan tasbih! Ibnu Mas’ud berkata: Hitunglah kejelekan-kejelekan kalian, aku menjamin bahwa itu tidak akan menyia-nyiakan kebaikan kalian, celakah kalian wahai umat Muhammad aku tidak menyangka secepat ini kalian akan binasa, mereka itu adalah shahabat-shahabat nabi kalian –Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih pada hidup dan baju-bajunya belum sobek dan cangkir-cangkirnya belum pada pecah. Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya sesungguhnya kalian telah membuka pintu-pintu kesesatan”. Mereka berkata: Demi Allah ya Aba Abdirrahman kami tidak menginginkan dari amalan (dzikir jama’ah) ini melainkan kebaikan. Abdullah bin Mas’ud berkata:
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حدثنا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ.
“Berapa banyak orang menginginkan kebaikan tapi mendapatinya, sungguh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menceritakan kepada kami bahwasanya ada suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Demi Allah –aku tidak tahu- kayaknya kebanyakan mereka itu adalah dari kalian” Kemudian Ibnu Mas’ud berpaling”.
Berkata ‘Amr bin Salamah: Aku melihat mereka yang berhalaqah (dzikir jama’ah) itu menghina kami pada waktu perang Nahrawan dan mereka bersama khawarij (memerangi kaum muslimin)”[2].
Apa yang dikatakan oleh ‘Amr bin Salamah ini memiliki kesamaan dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sa’id Al-Khudri ketika beliau meriwayatkan hadits tentang kisah penghinaan Dzul Khuwaisirah yang telah lewat penyebutannya. Abu Sa’id berkata:
وأشهد أن علي بن أبي طالب قاتلهم وأنا معه
   “Aku menyaksikan bahwa Ali bin Abi Thalib memerangi mereka dan bersama Ali”. [HR. Al-Bukhari (no. 3414) dan Muslim (no. 2496), dari Abu Said Al-Khudri].
Dengan penjelasan tersebut kami sangat khawatir kalau pak Prof dan jaringan pak Prof menjadi “maling teriak maling”, artinya kami khawatir kalau nanti terorisnya adalah pak Prof atau orang-orang yang terpengaruh dengan pemikiran sesat pak Prof, tidakkah pak Prof mau sadar dan mau kembali kepada jalan yang lurus?.
Dan di zaman ini terbukti pula bahwa mereka melakukan penghinaan, celaan dan ejekan kepada ahlussunnah, ahlussunnah dituduh sebagai teroris dalam keadaan para penuduh itu ikut bergabung dengan para teroris dalam memerangi ahlussunnah, sebagaimana ini telah terjadi di negara Yaman tepatnya di propinsi Sho’dah ketika muncul segerombolan teroris-pemberontak syi’ah-rafidhah, mereka membantai kaum muslimin dan membiarkan para penyembah berhala, mereka membantai ahli tauhid dan membiarkan ahli syirik, mereka membantai orang-orang yang menyembah Allah Ta’ala di masjid dan membiarkan orang-orang yang menyembah selain Allah di kuburan dan di tempat-tempat yang dikeramatkan, mereka itu adalah syi’ah-rafidhah, orang-orang yang mereka jadikan sebagai musuh utama adalah ahlussunnah wal jama’ah, maka para penuduh itu ikut gabung bersama mereka, mereka bersatu padu dalam memerangi markiz Darul Hadits Dammaj, menembaki para penuntut ilmu dan menawan serta membantai kaum muslimin dan terus berupaya untuk melengserkan pemerintah muslim Yaman dari kedudukannya. Yang bangkit membela kaum muslimin dan bekerja sama dengan penguasa dalam memerangi para teroris itu adalah ahlussunnah wa jama’ah yang bermarkiz di Darul Hadits Dammaj Sha’dah. Kami sebagai penuntut ilmu di Darul Hadits ikut merasakan imbas dari terornya mereka, ditengah-tengah kesibukan belajar, mengkaji, mengajar dan beribadah kami meluangkan waktu untuk berjaga-jaga di perbatasan-perbatasan Darul Hadits Dammaj, mengantisipasi adanya serangan
Dengan perjuangan yang begitu besarnya namun kemudian muncul orang-orang yang suka menghina mengatakan bahwa ahlussunnah di markiz Darul Hadits Dammaj adalah teroris, mereka memerangi ahlussunnah dengan lisan-lisan kotor mereka namun mereka membiarkan kaum rofidhah membantai kaum muslimin, mereka membiarkan rafidhah menyembah dan menuhankan Ali bin Abi Thalib, maka para penuduh itu dikhawatirkan kalau ternyata merekalah yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi terbukti mereka menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai peramal (tukang ramal). Supaya mereka tidak dicurigai sebagai teroris, merekapun melemparkannya label “teroris” kepada ahlussunnah yang ada di Darul Hadits Dammaj yang sedang berjuang melawan teroris-rafidhah, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Baqarah ayat 9 sampai 13:
 {يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (11) أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ (12)} { وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُونَ (13) }
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar”. Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang lain telah beriman”. Maka mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu”.
Di dalam “Shahih Al-Bukhari” (no. 5698) dari hadits Abi Dzar Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
لا يرمي رجل رجلا بالفسوق ولا يرميه بالكفر إلا ارتدت عليه إن لم يكن صاحبه كذلك.
Janganlah seseorang melemparkan (vonis) kepada seseorang dengan (vonis) fasiq dan jangan (pula) melemparkan kepadanya (vonis) kafir melainkan itu kembali kepada dia sendiri (si pemvonis), jika yang divonis itu tidak seperti itu keadaannya”.
Al-Hamdulillah apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam benar adanya, belum lama di Indonesia juga terbukti akan kebenaran perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak asing lagi di mata masyarakat Indonesia akan keradaan seorang pahlawan nasional yang pemberani, dia adalah seorang imam sekaligus sebagai mujahid yang membela islam dan menyeru kepada tauhid beliau adalah Al-Imam Bonjol –semoga Allah merahmatinya-, ketika beliau mendakwahkan tauhid di pulau Sumatra bangkitlah para pelaku syirik dan pecinta bid’ah yang masing-masing mereka mengaku sebagai seorang muslim, mereka bangkit dalam rangka memusuhi ahli tauhid-ahlussunnah wal jama’ah. Mereka memulai dengan menentang, menantang dan melawan dakwah yang dijalankan oleh Al-Imam Bonjol –semoga Allah merahmatinya-, yang kemudian terjadilah peperangan antara kaum adat (yang mereka membela kesyirikan dan kebid’ahan mereka) dengan ahlu tauhid yang dipimpin oleh Al-Imam Bonjol, ketika kaum adat yang suka berbuat syirik dan bid’ah merasa kalah, merekapun mencari jalan keluar untuk bisa mengalahkan pasukan ahlu tauhid, mereka menempuh cara sebagaimana yang dijalankan oleh nenek moyang mereka dari kaum musyrikin Quraisy ketika mereka dibinasakan oleh kaum muslimin pada perang Badr maka mereka mencari bantuan dari kalangan yahudi dan selainnya. Kalau ahlu syirik dan pecinta bid’ah yang memerangi Al-Imam Bonjol –semoga Allah merahmatinya- ketika mereka kalah langsung mereka menghubungi penjajah Belanda dan meminta bantuan, dalam peperangan merekapun melakukan politik yang sangat licik, yang pada akhirnya wilayah kekuasaan Al-Imam Bonjol mereka kuasai, ahlu tauhid mereka bantai dan Al-Imam Bonjol –semoga Allah merahmatinya- mereka tawan, sampai kemudian Al-Imam Bonjol diasingkan ke Ambon dan ada yang mengatakan beliau wafat di Ambon –semoga Allah merahmati dan membalas jasa-jasanya yang telah membela dan memperjuangkan Islam-. Wallahu A’lam Bishshawab.
Dari ulasan tersebut dapat dipetik kesimpulan, diantaranya:
  • Ahlu syirik di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menuduh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai pemecah belah (identik dengan; pengacau/teroris) padahal mereka sendiri yang memecah belah agama mereka, dan pantas kalau mereka dikatakan teroris karena dari awal dakwahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mereka sudah berani menjalankan makar dan terror. Dan ketika mereka kalah dalam menghadapi pasukan kaum muslimin mereka berserikat dengan yahudi dan kaum kafir lainnya.
  • Bahwa pelaku syirik dan pelaku bid’ah sewaktu-waktu mereka akan berserikat dengan khawarij atau kelompok sesat lainnya dalam memusuhi ahlu tauhid.
  • Bahwa ahlu tauhid akan terus dihina dan dimusuhi oleh ahlu syirik hingga akhir zaman, namun tidak akan memudharatkan mereka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
« لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ ».
“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang mereka tampak di atas kebenaran, tidak akan memudharatkan mereka siapa saja yang menyelisihi mereka”.

PENGHINAAN YANG DIMAKSUDKAN UNTUK SALAFI-AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH AKAN TETAPI SECARA TIDAK DISADARI PENGHINAAN ITU MENGENAI RABB SEMESAT ALAM
            Pada buku “SEBAL” dari sampulnya hingga isi pembahasannya tidak lepas dari penyebutan “Wahhabi”, bagi orang yang memahami dan mengerti nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala tentu mereka akan mengatakan bahwa “Wahhab” adalah nama dari nama-nama Allah Ta’ala dan mereka mengimani nama tersebut. Mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala adalah termasuk dari bentuk merealisasikan tauhid asma’ wa shifat, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Hajj ayat 32:
{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ }
“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu termasuk dari ketaqwaan hati”.
Diantara bentuk pengagunggan syi’ar-syi’ar Allah adalah memuliakan dan mengagungkan nama-nama-Nya yang indah. Muslim yang baik tentu tidak akan menjadikan nama dari nama-nama Allah Ta’ala seperti nama “Wahhab” sebagai bahan permainan, olok-olokkan atau dijadikan sebagai bahan ejekan terhadap hamba-hamba-Nya. Mengejek dan menghina hamba-hamba Allah Ta’ala saja sudah diharamkan lalu bagaimana kiranya kalau mengejek mereka dengan menggunakan nama-nama Allah Ta’ala seperti mengatakan kepada mereka “Wahhabi” padahal Wahhab adalah termasuk dari nama-nama Allah Ta’ala, sebagaimana dalam surat Shaad (hal. 35) ketika nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam berdoa:
{رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ }.
“Ya Robbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorangpun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi)”.
Tentu bagi orang yang masih memiliki iman akan takut dari ucapan yang tidak diridhai oleh Allah Ta’ala baik itu berupa hinaan, celaan dan olok-olokkan, ketika dia menyadari akan dirinya yang serba dengan kekurangan dan kelemahan diapun memohon kepada Al-Wahhab (Allah Ta’ala) untuk diberikan kekokohan di atas Islam dan berlindung kepada-Nya dari penyelewengan, penyimpangan dan kesesatan, mereka berdo’a:
{رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ } [آل عمران: 8]
“Ya Robb Kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau adalah Al-Wahhab (Yang Maha pemberi karunia)”. [Tentang permasalahan ini telah kami sebutkan dalam tulisan kami “Membendung Dakwah Tauhid dengan Menggunakan Sarang Laba-laba”].

CIRI-CIRI PENGIKUT RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM YANG DIJADIKAN POKOK BAHASAN
Berkata Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj MA dalam pengantarnya (hal. 9): “Berjenggot panjang, memakai sorban dan bercelana di atas tumit, itu bagus. Tapi hal-hal yang bersifat simbolik itu tidak cukup untuk dinilai bahwa dia telah mengamalkan agama Islam”.
Tanggapan:
Tidak hanya sekedar bagus tapi memang itulah diantara ciri-ciri pengikut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bersifat zhahir (nampak), dan penampilan seperti itu termasuk diantara sunnah dari sunnah-sunnah para Nabi dan Rasul, tentang jenggot Allah Ta’ala sebutkan perkataan nabi Harun kepada kakaknya (nabi Musa) dalam Al-Qur’an surat Thaahaa ayat 94:
قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي
“Harun menjawab: “Hai putra ibuku, janganlah kamu memegang jenggotku dan jangan (pula) memegang kepalaku”.
Di dalam “Shahih Muslim” [no.53-(259)] dari hadits Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau memerintahkann untuk memangkas kumis dan membiarkan jenggot”.
Adapun tentang celana di atas mata kaki maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
(( مَا أسْفَل مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإزْارِ فَفِي النار )).
Apa yang melebihi dari kedua mata kaki dari sarung maka tempatnya di neraka”. (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah). [Hadits ini terdapat pula di dalam kitab “Riyadhus Shalihin” karya Al-Imam An-Nawawi –semoga Allah merahmatinya-].
Adapun tentang memakai sorban maka itu termasuk dari sunnah para nabi dan rasul, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan orang-orang yang memakai sorban ketika wudhu untuk mengusap di atas sorbannya, sebagaimana hadits dari Tsauban Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata:
بعث رسول الله – صلى الله عليه وسلم – سرية, فأمرهم أن يمسحوا على العصائب – يعني: العمائم -والتساخين- يعني: الخفاف – رواه أحمد, وأبو داود, وصححه الحاكم.
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus pasukan (perang), beliau memerintahkan mereka untuk mengusap al-’ashaaib….”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim). Hadits ini terdapat dalam “Bulughul Maram” karya Al-Hafidz Ibnu Hajar (hal. 22, no hadits 63), beliau mengartikan al-’ashaaib dengan sorban (imamah).
Bila sunnah para nabi dan rasul tersebut dikatakan sebagai simbol dari simbol-simbol Islam maka itu sangatlah benar, yang tujuan dan hikmah dari mengamalkannya adalah supaya terbedakannya antara muslim dan kafir, tidak hanya itu, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan umatnya untuk mengamalkan sunnah-sunnah tersebut beserta sunnah-sunnah selain yang telah disebutkan, perintah tersebut tujuannya sebagai bentuk dari penyelisihan terhadap kaum musyrikin dan orang-orang kafir seluruhnya.
Diantara perintah-perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengamalkan sunnah-sunnahnya adalah:
-       Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk memelihara jenggot sebagai bentuk penyelisihan terhadap orang kafir.
                 Al-Hafidz Ibnu Hajar –semoga Allah merahmatinya- mengatakan di dalam “Fathul Bari” (Juz 10/hal. 347): Dari Abdillah bin ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan orang-orang majusi: “Bahwasanya mereka membiarkan kumis-kumis dan memotong jenggot-jenggot mereka maka selisihilah”.
Di dalam “Shahih Muslim” [no.53-(259)] dari hadits Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau memerintahkann untuk memangkas kumis dan membiarkan jenggot”.
Al-Imam An-Nawawi membuat bab khusus dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin” yaitu “Bab An-Nahyi ‘Anittasyabbuh Bisy-Syaithan Walkuffar” kemudian beliau membawakan hadits dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
(( إنَّ اليَهُودَ وَالنَّصَارى لاَ يَصْبغُونَ ، فَخَالِفُوهُمْ )).
 “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidaklah mereka menyemer (rambut yang sudah putih), maka selisihilah”. (Muttafaqun ‘Alaih).
Al-Imam An-Nawawi berkata dalam “Riyadhus Shalihin” (hal. 380): “Yang diinginkan dengannya adalah menyemer rambut jenggot dan rambut kepala yang sudah putih dengan warna kuning dan merah mudah, adapun menyemer dengan warna hitam maka dilarang”.
-       Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang dari menjadikan kuburan sebagai masjid dan sebaliknya (menjadikan masjid sebagai kuburan), sebagai bentuk penyelisihan terhadap orang-orang kafir.
Di dalam “Ash-Shahihain” dari hadits Aisyah  dan Abdillah bin ‘Abbas –semoga Allah meridhai mereka-, keduanya berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ».
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid”.
Oleh karena itu, bila seseorang menginginkan untuk menjadi muslim yang baik dan taat maka hendaklah dia tidak menjadikan masjid kuburan sebagai masjid atau sebaliknya (menjadikan masjid sebagai kuburan), karena perbuatan tersebut termasuk dari perbuatan orang-orang kafir terdahulu, mereka menginginkan untuk membangun masjid di atas gua, sebagai bentuk pengagungan terhadap ashhabul kahfi (penghuni gua) sepeninggalnya mereka, Allah Ta’ala kisahkan tentang rencana mereka di dalam surat Al-Kahfi ayat 21:
قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا.
“Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya Kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya”.
Di dalam “Shahih Al-Bukhari” (no. 428) dan “Shahih Muslim” [no. 16-(528)] dari Aisyah –semoga Allah meridhainya-: bahwasanya Ummu Salamah menyebutkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang gereja yang dilihat di negri Habasya dan di dalam gereja tersebut terdapat gambar-gambar, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam berkata:
إن أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح فمات بنوا على قبره مسجدا وصوروا فيه تلك الصور فأولئك شرار الخلق عند الله يوم القيامة
“Sesungguhnya mereka itu, jika ada pada mereka laki-laki yang shalih kemudian wafat maka mereka membangun di atas kuburnya sebuah masjid dan mereka membuat gambar-gambarnya di dalam masjid tersebut. Mereka itu adalah sejelek-jeleknya makhluk di sisi Allah pada hari kiamat”.
Dengan keadaan mereka seperti itu maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memperingatkan umatnya supaya tidak mengikuti perbuatan mereka. Tidak hanya itu, namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan laknat dan kebinasaan kepada orang-orang yahudi dan nasrani yang mereka menjadikan kuburan sebagai masjid, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ ».
“Semoga Allah melaknat orang-orang yahudi dan nasrani yang mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid”. [HR. Al-Bukhari (no. 428) dan Muslim (no. 1214) –semoga Allah meridhainya-].
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ ».
“Semoga Allah membinasakan orang-orang yahudi dan nasrani, yang mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid”. [HR. Al-Bukhari (no. 426) dan Muslim (no. 1213) dari hadits Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya-].
Tidak hanya yahudi dan nasrani yang beliau doakan laknat dan kebinasaan, namun semua umat (termasuk di dalamnya umatnya) bila mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa:
 ( اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد، اشتد غضب الله على قوم اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد )
“Ya Allah! Janganlah Engkau menjadikan kuburanku berhala yang disembah!, Allah sangat murka atas suatu kaum yang mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid”. [Hadits ini shahih dengan adanya penguat-penguat. Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Dailami dari Abu Hurairah, Ibnu Sa’d dari Atha’ bin Yasar dan Abdurrazzaq dari Zaid bin Aslam secara mursal].
Dengan melihat dalil-dalil yang ada semuanya adalah shahih maka kita simpulkan bahwa larangan untuk menjadikan kuburan sebagai masjid itu termasuk dari mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah merahmatinya- karena beliau berkata:
إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Jika shahih suatu hadits maka itulah mazhabku”. [Al-Majmu’ Syarhul Muhazzab (1/92)].
Bila ada yang mengatakan bahwa menjadikan kuburan sebagai masjid atau sebaliknya (menjadikan masjid sebagai kuburan itu ada ulama yang membolehkannya, maka tidak diperkenankan untuk mentaati mereka, karena Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah merahmatinya- berkata:
فأمروا ان أطيعوا أولي الامر الذين أمرهم رسول الله لا طاعة مطلقة
“Mereka diperintahkan untuk mentaati ulil amri (ulama) yang Rasulullah telah memerintahkan mereka itu bukanlah ketaatan secara mutlaq”. [Ar-Risalah (hal. 105)]. Artinya kalau ulil amri memerintahkan kepada sesuatu yang menyelisihi syariat maka tidak boleh ditaati, siapa saja yang tetap bersikeras mengikuti ulil amri dan enggan dari mengikuti dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah maka dia telah memposisikan ulil amri lebih tinggi kedudukannya daripada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika seperti itu perlakuannya maka sudah sangat jelas kalau dia benar-benar menghinakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

PERPECAHAN YANG TERJADI
                 Di dalam “SEBAL” (hal. 52) penulisnya berkata: “Perpecahan dalam internal salafi jauh lebih “dahsyat”.
                 Tanggapan:
                 Dari perkataan tersebut tampak kalau penulis adalah paling bodohnya manusia, sangat memalukan sudah memakai gelar syaikh tapi ternyata seperti masih “buta huruf”, ataukah memang gelar syaikh itu sebagai bentuk pembuktian kalau dia memang syaikh benaran yaitu syaikh (kakek) yang sudah pikun karena sudah sangat lanjut usia.
Ketahuilah bahwa dengan adanya perpecahan tersebut, itu sebagai bentuk dari pembuktian akan kebenaran perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,  di dalam “Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shohihain lil Hakim” (Juz: 1, hal. 348) dan dalam “Ash-Shohih Al-Musnad” (Juz: 1, hal. 514) dengan sanad shahih dari hadits Abdullah bin Umar, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
} لاَ يَجْمَعُ اللهُ هَذِهِ الأُمَّةُ عَلَى الضَّلاَلَةِ أَبَدًا { وَقَالَ : } يَدُ اللهِ عَلَى الجَمَاعَةِ  {
Allah tidak akan menyatukan umat ini di atas kesesatan selama-lamanya”. Dan beliau berkata: “Tangan Allah bersama al-jama’ah”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berkata dalam surat Yunus ayat 32:
}فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ {
Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kalian yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimana kalian dipalingkan (dari kebenaran)”.
Dari dalil tersebut diketahui bahwa perpecahan pada umat ini akan terus terjadi, dan perpecahan yang terjadi dikalangan salafi ahlussunnah wal jama’ah itu karena ada diantara mereka yang terjatuh kepada kemaksiatan atau ada yang condong kepada penyimpangan, sehingga dengan sebab kemaksiatan itu mengakibatkan adanya perpecahan. Jika kita kembali melihat sejarah umat Islam, pada asalnya umat Islam itu berada dalam satu kesatuan di bawah naungan Al-Qur’an dan As-Sunnah namun kemudian muncul orang-orang dari umat Islam sendiri melakukan kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan maka dengan sebab itu umat Islampun terpecah belah, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Baqarah ayat 213:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً
Dahulu manusia adalah umat yang satu”.
Allah Ta’ala berkata dalam surat Yunus ayat 19:
وَمَا كَانَ النَّاسُ إِلَّا أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيمَا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Robbmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu”.
Allah Ta’ala berkata dalam surat Huud ayat 118:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”.
Dan perpecahan yang terjadi dikalangan ahlussunnah itu adalah ujian dari Allah Ta’ala supaya manusia dapat mengambil pelajaran dan mampu mengetahui siapa yang sebenarnya berada di atas jalan yang lurus, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Maidah ayat 48:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian”.
Dengan perpecahan itu pula dapat manusia mengetahui siapa yang sesat dan siapa yang benar-benar di atas petunjuk, Allah Ta’ala berkata dalam surat An-Nahl ayat 93:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kalian satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan sesungguhnya kalian akan ditanya tentang apa yang telah kalian kerjakan”.
Jika kita kembali melihat sejarah umat Islam, pada asalnya umat Islam itu berada dalam satu kesatuan di bawah naungan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana telah lewat penyebutannya, namun kemudian muncul orang-orang dari umat Islam sendiri melakukan kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan serta mereka condong kepada kesesatan maka Allahpun palingkan mereka dan jadikan mereka di atas perselisihan, Allah Ta’ala berkata dalam surat:
 فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ. 
Maka tatkala mereka berpaling maka Allahpun paling hati mereka, dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasiq”.
Segerombolan yang pertama kali muncul dalam memecahkan persatuan kaum muslimin adalah di zaman khalifah Utsman bin Affan –semoga Allah meridhainya-. Segerombolan tersebut berupaya untuk melengserkan Utsman bin Affan dari kedudukannya, dan perbuatan ini termasuk dari bentuk kemaksiatan karena Allah Ta’ala dan Rasul-Nya memerintahkan untuk mentaati penguasa (pemimpin), dengan kemaksiatan tersebut maka tidak heran setelah itu muncul perpecahan yang sangat dahsyat. Setelah Amirul Mukminin Utsman bin Affan –semoga Allah meridhainya- mereka berhasil lengserkan dari kedudukannya dengan menggunakan cara dan tindakan yang sangat biadab, yang tak berperikemanusiaan yaitu berupa pembantaian sadis terhadap Utsman, mereka bergegas memberikan dukungan penuh kepada Ali bin Abi Thalib –semoga Allah meridhainya-, mereka membaiatnya, dan mereka sangat riang gembira ketika terjadi perpecahan antara Ali dengan Muawiyyah –semoga Allah meridhai keduanya-. Ketika Ali berupaya untuk mempersatukan kembali barisan kaum muslimin sebagaimana sebelumnya, dengan cara mengadakan perdamaian antaranya dengan pihak Muawiyyah maka segerombolan yang mendudukng Ali tersebut menampakan diri, mereka bersegera mencabut ketaatan kepada Ali, dari situ kemudian mereka dinamai oleh para shahabat sebagai khawarij.
Setelah gerombolan khawarij tersebut meresmikan diri sebagai musuh Ali dan musuh para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulailah berdatangan personil-personil memberikan dukungan fisik, diantara mereka adalah sekelompok halaqah dzikir jama’ah yang telah kami sebutkan kisahnya dalam tulisan ini. pada zaman tersebut mulailah bertumbuh subur kelompok-kelompok sesat yang masing-masing mendakwahkan kebid’ahan dan kesesatan mereka. Yang bertahan dan tetap komitmen di atas Islam sebagaimana awalnya adalah para shahabat nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan pengikut-pengikut setia mereka, yang mereka itulah dinamakan dengan ahlussunnah wal jama’ah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
سَتَفْتَرِقُ هذه الأُمَّتِة عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Akan berpecah pada umat ini menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, semuanya dalam nerka kecuali satu, dia adalah al-jama’ah”. [HR. Ahmad (no. 16937), Abu Ya’la (no. 3938) dan Ibnu Majah (no. 3993) dengan sanad shahih dari hadits Anas bin Malik].
                 Dalam riwayat At-Tirmidzi:
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
 “Apa yang saya dan para shahabatku berada di atasnya”. Berkata At-Tirmidzi: Ini adalah hadits hasan gharib.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
سبحانك اللهم وبحمدك لا اله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
Abul ‘Abbas Khidhir Al-Mulki –semoga Alloh mengokohkannya-
Darul Hadits Dammaj-Yaman, Ahad 3 Jumadits Tsaniyah 1432 H.

[1] Himbauan imam shalat tersebut sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di dalam “Shahih Muslim” [no. 124-(433)] dari Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya-, beliau berkata: Berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
سووا صفوفكم فإن تسوية الصف من تمام الصلاة
“Luruskan shaf-shaf kalian, sungguh lurusnya shaf  itu termasuk dari sempurnanya shalat”.
[2] Apalagi kalau kita saksikan dzikir jama’ah yang dipandu oleh seorang mubtadi’ yang bernama Arifin Ilham di dalamnya ada campur baur, ada yang dari IM (Ikhwanul Muslimin), JT (Jama’ah Tabligh), HT (Hitbut Tahrir) dan bahkan ada dari pihak-pihak yang sudah dicurigai sebagai teroris ikut meramaikan dzikir jama’ah tersebut. Pak Arifin tampak sangat berambisi untuk bisa mempersatukan berbagai kelempok sesesat apapun kelompok tersebut yang penting bersamanya. Maka bagaimana kiranya kalau nanti ada dari kelompok tersebut benar-benar terbukti melakukan teror atau mereka memiliki rencana untuk menggulingkan penguasa yang sah, apakah pak Arifin akan ikut bergabung dengan mereka, sebagaimana para pencetus dzikir jama’ah dulu ikut bergabung dengan khawarij?.

http://malzamahislam.wordpress.com


Artikel Terkait:

3 comments:

  1. adakan sj forum diskusi panel mengenai buku ini dan divdeokan dan sekalian diupload diyoutube. biar semua tahu mas... jgn hx beraninya main2 didunia maya...

    ReplyDelete
  2. Lebih arif dan bijak jika kita adakan diskusi ilmiah / bedah buku, atau diskusi terbuka, dan di uploud ke youtube seperti : debat terbuka Syeh salim alwan VS Abdurrahman Damaskiyyah. kami juga baca bukunya, memang ada nuansa profokatif, tapi landasannya ada semua di kitab rujukannya, jauh dari kesan meng ada2 secara ilmiah.

    ReplyDelete
  3. Bagaimana akan didiskusikan sedangkan penulisnya sengaja tidak mau muncul, bahkan menggunakan nama samaran (majhul).

    Begitukah sikap Ilmiyah ???

    ReplyDelete